Era di pesantren, tubuhnya rada gering. Terlalu banyak tirakat. Tapi, “performance”nya kini lumayan jangkung. Gaya bicaranya tatak, khas juragan. Ia mampu mengorganisir perusahaan dan organisasi Ansor yang dipimpinnya. Biasa berhubungan dengan pejabat pemerintah telah membuat orang menaruh hormat begitu besar padanya, apalagi sejak ia mendirikan pondok pesantren tahfidh al-Qur’an di Desa Panjang, Kecamatan Ambarawa.
Tentu perjalanan usaha dan karirnya tidak semulus yang dibayangkan. Gus A’an seperti pejuang lainnya, merangkak dari bawah. Setelah selesai mesantren di MQ Tebuireng dan kuliah hukum di Ungaran, ia melangsungkan pernikahan. Mengarungi bahtera kehidupan.
Membangun usaha memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangannya tentu berat. Gus A’an pernah mengalami kesulitan-kesulitan finansial. Ia harus rela meminjam uang dari bank. Dalam satu waktu, ia memiliki 25 titik pinjaman dan harus dilunasi semua. Bagi orang biasa, hal ini tentu akan sangat merepotkan sekali. Angsuran pinjamannya hingga 72 juta rupiah perbulan, sementara pemasukan terkadang tidak sampai separuhnya. Pada fase yang paling sulit, Gus A’an terpaksa menggadai aset pondok, tanah milik mertua, hingga perhiasan isteri pun habis. Fase yang tidak banyak orang tahu, termasuk kedua orangtua dan saudaranya. Tidak ada yang benar-benar bisa menjadi tempat mengadu secara terbuka. Pada 2014, Gus A’an benar-benar mengalami puncak keterpurukan dan penuh keminderan.
Di hadapan Ka’bah manakala sedang melaksanakan ibadah umroh, semua persoalan dan keluh kesah itu tertumpahkan.
NU itu memang “mberkahi” ujarnya. Gus A’an diajak terlibat di dalam kepengurusan PC Gerakan Pemuda Ansor. Ia menjadi bendahara organisasi.
Orang memandang memang dari segi fisik dan penampilan. Sosok pengusaha terlihat sepintas seperti tidak ada masalah. Semua kebutuhan kegiatan organisasi pun sering menjadi beban tanggungannya. Dengan terpaksa, ia berusaha menerima tanggung jawab itu. Namun, bukan malah beban hutangnya bertambah, melainkan justeru secara perlahan lunas dengan sendirinya. Pada 2015, semua hutangnya lunas. Berkat ngurusi Ansor katanya.
Pada 2017 akhir, ia pindah ke Desa Panjang untuk menata kehidupan baru, meninggalkan orang tuanya yang tinggal di Genuk, Ungaran. Sembari tetap membuka usaha biro perjalanan haji dan umroh, Gus A’an bersama isterinya juga membuka usaha penginapan bagi pengunjung wisata Goa Maria di Ambarawa. Pada 2018, Gus A’an mendirikan Pondok Pesantren Baitul Qur’an Aswaja di Ambarawa, sebuah reputasi yang luar biasa. Sembari tetap mengurusi GP Ansor.
Baginya, tiga prinsip menjadi alumni pesantren yang bisa dipandang sukses: jika alim, alim beneran. Jika kaya, kaya beneran. Dan, jika sakti, ya sakti beneran. Agar kemampuanya bisa dipandang masyarakat.
Penulis: Goesd.
Editor: Goesd.