Kehidupannya sebagai santri petualang sudah mulai tampak ketika mesantren di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng.
Di MQ Tebuireng, Mbah Rur, demikian panggilannya, mengawali masa kesantriannya dengan mengabdi di bagian dapur umum. Di dapur umum itu, Mbah Rur bagian masak nasi para santri. Setiap tengah malam atau sore selepas zuhur, ia bersama tim Kopgor (dulu namanya koperasi gotong royong, sekarang menjadi koperasi jasa boga) sudah sibuk menyiapkan makan para santri pesantren untuk jadwal pagi dan sore.
Mendapat gelar “Jengges” (pakar santet) dari Kyai Mughni, Abah dari Gus Munir, Desa Mberuk, Nganjuk. Gus Munir adalah yang paling banyak menggembleng hafalan al-Qur’an Mbah Rur. Setiap malam Jum’at, Mbah Rur sering ke Mberuk untuk tabarukan. Gus Munir adalah santri senior MQ Tebuireng.
Pada masa itu, Mbah Rur mencari kyai sepuh di Nganjuk. Oleh Gus Munir, Mbah Rur diarahkan tabarukan kepada Kyai Hisyam, mertua Gus Munir, di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin, Sanggrahan, Kabupaten Nganjuk. Kakak Gus Maksum Jauhari, Lirboyo, Kediri.
Kepada Kyai Hisyam, Mbah Rur mendapat gemblengan-gemblengan mental dan spiritual. Sering “gelut”, kalau kalah malah dimarah oleh Kyai Hisyam. Semasa di MQ Tebuireng juga, Mbah Rur memperlihatkan “kenyelenehan-kenyelenahan”. Dan, jarang masuk sekolah. Mbah Rur lebih banyak bertempat di tempat-tempat wingit seperti Makam Kyai Asy’ari, kakek ayah Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari di Keras, Jombang untuk mendaras Al-Qur’an. Lebih sering, kegiatan tersebut dalam rangka menyertai Gus Munir untuk “mudarasah” al-Qur’an juga.
Mbah Rur jadug sudah sejak dari MQ Tebuireng. Selepas dari pesantren, Mbah Rur pulang kampung ke Salatiga. Sementara Gus Munir tabarukan selama tahun di Pesantren Pethuk, Kencong, Kediri.
Dari kampung halaman, kemudian Mbah Rur mulai melanglang buana. Ia pergi berangkat ke Sungaililin, Kabupaten Musibanyuasin untuk tinggal beberapa lama. Terdapat komunitas orang-orang dari Kabupaten Semarang yang mengikuti program transmigrasi pada masa Orde Baru. Komunitas tersebut tidak saja membangun sistem ekonomi seperti perkebunan sawit, melainkan juga sistem religius seperti tarekat. Di Sungaililin, Mbah Rur bekerja memetik sawit.
Menjadi teknisi pembuatan tower
Masa muda menjadi gelora yang membara. Menjadi pekerja fisik bukan pilihan. Hanya semangat untuk mencari pengalaman berharga. Mbah Rur melanjutkan pengembaraannya dengan bekerja kasar sebagai pembuat tower.
Bekerja bisa berbulan-bulan, bahkan kontrak tahunan, dari Aceh hingga Papua. Pengalaman paling berkesan ketika mendapat pekerjaan di Sampit. Menjadi saksi huru hara antar suku yang menewaskan banyak korban.
Kini, Mbah Rur sudah istiqamah “ngeramut” santrinya di Desa Blotongan. Tidak kurang dari 500 orang santri rutinan dan puluhan santri tahfidh, menghapal al-Qur’an.
Penulis: Goesd
Editor: Goesd