Ada santri setelah purnamesantren, ia sibuk mendedikasikan diri, mengamalkan ilmunya sehingga melupakan jenjang akademik yang seharusnya ia tempuh. Tapi, ia kaya akan pengalaman-pengalaman. Ada santri yang berhasil menyelesaikan jenjang akademiknya hingga level strata tiga (S3), bahkan mendapat gelar profesor. Ada pula santri yang mengembangkan usaha-usaha lain di luar disiplin ilmu yang diperolehnya selama mesantren seperti pengusaha, pebisnis, pedagang, dan beragam profesi lainnya.
Entah, dapat gagasan dari mana, KHA Musta’in Syafi’i, Mudir Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng, memberi inspirasi penamaan majalah yang akan dibuat tersebut. Aku menimbang-nimbang. Teman-teman menganggap bakal “kabotan jeneng”. Visi dan misinya terlalu excellent, istimewa.
Namun, karena gagasan tersebut merupakan “dawuh kiai”, kami tak berani menolak. Mungkin, akan ada hikmahnya, batinku.
Aku diundang ke pondok untuk membicarakan rencana pembuatan majalah. Kata mereka, “ini, kami, sudah sowan ke Cak Edy Musoffa, Beliau merekomendasikan sampean untuk bantu bikin majalah.” Wah, ini sudah dawuh para sesepuh, perintah langit, tak bisa ditolak, pikirku. “Berhubung, sampean sedang di Tebuireng, pas sekali momennya,” ujar Ustadz Man Opik, sang kepala sekolah.
Dan, malam itu, dibantu oleh Hilmy, kami membicarakan rencana matang membuat majalah. Hilmy yang sudah berpengalaman di Majalah Tebuireng membeberkan langkah-langkah penyusunan konten dan Lay out-nya. Aku hanya menambahkan keterangan-keterangan seperlunya.
Saiful Hijar, panggilannya Ipung, pagi-pagi menemuiku di pasar Cukir. Aku lupa membahas apa. Intinya, beberapa hari kemudian, konten yang sudah disiapkan oleh redaksi, pertama kali aku edit bahasanya. Kemudian, di-lay out oleh Hilmy. Aku pikir, majalah itu sekadar media internal untuk ajang belajar para santri berkreativitas. Namun, di luar dugaanku, hasilnya memang luar biasa. Majalah itu digarap serius. Sudah bisa disejajarkan dengan majalah-majalah nasional. Seukuran “Ulumul Qur’an”, sebuah jurnal ilmiah era tahun 1990an. Majalah MQ Times digarap secara serius oleh tim redaksi. Penulis-penulisnya para profesional. Sudah ngangkatlah untuk dibaca secara umum. Itu semua karena berkat kerja keras sang direktur, Saiful Hijar. Karena, pengalamanku beberapa kali membuat majalah, pekerjaan demikian memang tidak gampang. Lebih rumit daripada membuat buku. Dan, itu dikerjakan dengan sungguh-sungguh oleh tim. Apalagi pekerjaan itu lebih bernilai gotong royong mengabdi kepada pondok pesantren.
Semasa di pesantren dulu, aku belum mengenal Ipung. Mungkin, lupa. Namun, dari jejak ilmiahnya, Ipung cukup cerdas dalam banyak hal, apalagi kalau sedang merayu minta tulisan. Marketingnya jalan. Patut diacungkan dua jempol. Kalau tidak, mana mungkin ia mampu mengoordinasikan pembuatan majalah sebagus itu. Tanpa lelah.
Ipung setiap Sabtu dan Minggu ke Tebuireng dari Surabaya. Pergi-pulang. Kesibukannya sehari-hari mengajar di Surabaya. Di Tebuireng, Ipung juga mengajar dan menunggu setoran hapalan santri-santri yunior.
Ipung di bidang tahfidh sudah merampungkan Qira’ah Sab’ah. Capaian yang sulit. Sangat selektif. Karena, santri-santri yang mencapai tingkatan itu terlebih dahulu harus mendapatkan sanad hapalan lancar. Baru, kemudian, mengambil Qira’ah Sab’ah beserta sanadnya. Berbeda dengan pesantren-pesantren lain yang lebih longgar. Belajar Qira’ah Sab’ah secara klasikal, menjadi mata pelajaran umum di perguruan tinggi atau madrasah.
Ipung juga sedang mempersiapkan kuliah S3nya setelah merampungkan S2nya. Kerja kerasnya, satu persatu bisa diselesaikan. Sembari tetap mendaras dan merawat jama’ah khataman Al-Qur’an. Dan, kini, majalah itu perlahan-lahan sudah dikelola secara profesional, meskipun Ipung masih kesulitan menambah tenaga-tenaga ahli baru.
3 September 2020.