Dengan apa tawajuh ilallah? Satu, “safar”, tour, pergi. Kalau ingin tasawuf masih duduk saja di Patrakuningan, di Pondokindah, Cinere, Villa Cinere Mas, bisa sih bisa. Sebenarnya bisa. Saya sendiri tidak semua saya terima, ya, artinya kita nggak boleh mengkritisi cara begini. Tapi, umumnya orang yang ingin masuk, betul-betul, menghadap Allah pergi dari rumah. Dan, jangan bawa pengawal. Nanti pergi bawa pengawal, bawa tukang towo, tukang pijitlah. Pergi! Safar, harus pergi. Malah yang namanya syekh, semua wali pergi dari rumah dan tidak kembali. Itu Abul Hasan Al Syadzili pergi dari Tunis, lahir di Tunis, wafat-wafat di Mansyurah, Mesir Utara. Ibnu Arabi dari Andalus, Spanyol, wafat-wafat di Damaskus. Pergi ke Tunis, Mesir, Mekah, Madinah, Irak, dan ketika itu belum ada pesawat, ya? Ya, artinya dengan jalan darat. Sampai ke Konya, di Turki, wafat-wafat di Damaskus. Semua orang sufi itu keluar dari rumah dulu. Apa? Ndadar awak, ya, banting tulang. Supaya kita jangan terlalu enak terus, dihormati terus, mobil dibukakan terus, sesekali safar. Pergi! Keluar dari rumah, keluar dari tengah-tengah keluarga. Keluar dari tengah-tengah lingkungannya yang sudah mengenalinya. Keluar!
Kalau sudah keluar, sahar! Melek malam, begadang. Sebab apa? Jadi, kalau waktu malam itu limpahan, pancaran, emanasi, Nur Allah itu lebih langsung gitu. Nah, kalau kita malam untuk tidur terus, ya dak pake mimpi. Coba meleklah! Mengurangi tidur. Mengurangi tidur. Minimal, mengurangi tidur. Dari jam sepuluh tidur, jam dua bangun. Semua, rata-rata kiai, nggak usah wali yang besarlah, rata-rata yang namanya kiai kalau malam jarang tidur atau sedikit tidur. Ini cerita nyata. Kiai Mahrus Ali Lirboyo (Kediri) itu kalau habis mengajar jam setengah sebelas, 10.30, tidur, istirahat, jam dua sudah, ya sudah duduk, sudah makanin kucing, makanin kambing, sudah keliling. Itu Kiai Mahrus Ali. Kalau Kiai Ali Maksum Krapyak, Jogja, itu kadang-kadang sampai jam dua itu masih, ya masih jalan-jalan, masih ngelilingi pesantren, masih apa saja yang dilakukan. Matanya itu begini, tapi hatinya berzikir. Dalam hatinya berzikir. Rata-rata, kalau kiai itu malam jarang tidur. Sahar! Tapi, bukan begadang terus di Kemang situ, bukan! Atau, di Ancol sana.
Iya, kalau sudah pergi, kemudian melek malam, satu lagi, hajar! (Bersambung).