Hajar! Lapar! Dikurangi makannya. Boleh makan tapi jangan terlalu kenyang betul gitu loh. Dikurangilah. Ya, kita nggak perlu puasa, nggak banyak-banyak puasa asal kita setiap hari membatasi diri untuk makan. Atau, kalau nggak mau dibatasi, nanti malah akan dibatasi dengan paksa loh. Apa? Jangan susu, jangan gula, nggak usah manis, nggak usah pedas, lah itu dokter yang membatasin malah. Lebih baik, sebelum dokter yang batasin, kita dulu yang batasin. Karena mau nggak mau nanti dokter yang membatasin kita loh? Jangan minum yang berlemak, jangan makan yang berlemak, jangan susu, jangan kopi, jangan merokok, hah… banyak sekali jangannya nanti. Nanti, lama-lama, sempit-sempit-sempit, sampai nggak boleh makan nanti. Kalau sudah Izroil yang datang nggak boleh makan sudah.
Jadi, sebelum dokter yang melarang, membatasi makan kita, coba kita batasin sendiri. Toh, masih bebas makan apa saja, tapi coba kita batasin, perut itu lapar!
Sebab, kalau terlalu penuh, semua sudah tahulah, urusan makan sebenarnya tak perlu diterangkan, kalau perut itu penuh? Maka, jelas isinya di situ tidak ada tempat, tidak ada ruang untuk zikir kepada Allah. Sulit. Mudah ngantuk, mudah capek, mudah malas.
Kalau sudah betul-betul menghadap menuju Allah, bukan untuk plesir, bukan hanya untuk tamasya, tour yang tidak ada artinya; diisi dengan “zikrullah”. Zikir kepada Allah.
Tujuannya apa? Tujuan “zikirullah” itu?
Nanti, nanti, tujuannya nanti. Sekarang “zikrullah”. “Zikr”, “ïstiqamah”. Kalau mampunya cuma 100 kali? Asal ajeg, asal kontinyu, asal terus menerus. Tiap malam, baca “La ilaha illallah” 100 kali, kalau memang mampunya 100 kali. Nanti, deh, bulan depan baru 300 kali. Bulan depan baru 1000. Nggak papa, nggak papa, kita masih latihan. 100 kali dulu, e, asal kontinyu.
إِنَّ نَاشِئَةَ ٱلَّيْلِ هِىَ أَشَدُّ وَطْـًٔا وَأَقْوَمُ قِيلً
Karena apa kita memilih waktu malam itu? “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan (Al Quran surat Al Muzzammil ayat 6). Terjemahannya begitu. Istiqamah! Zikir kepada Allah dengan kontinyu. Tidak penting kontinyu lagi. الاستقامة خير من الف كرامة , Al Istiqamah khairun min alfi karamah. Kontinyu itu, istiqamah itu, lebih mulia, lebih utama, bagi Allah daripada orang yang memiliki 1000 keramat. Kalau orang punya 1000 keramat ndak begitu dihargai oleh Allah. Tapi, orang istiqamah, maka jelas orang itu bisa menguasai dirinya, mengenali dirinya, mengontrol dirinya, memaksa dirinya, minimal, kalau masih “taábbud” berarti masih memaksa; kalau sudah “taqarrub” berarati sudah mulai tidak terpaksa; apalagi kalau sudah tingkatnya “tahqquq”, ya sudah, sudah luar biasa.
Kalau sudah istiqamah? Coba zikir “Allah” dengan sakinah. Dengan tenang. Dengan tenang. Tenang itu gimana? Sakinah itu bukan hanya badannya, tapi tenang perasaannya, tenang jiwanya, emosi, uneg-uneg, apalah itu buang semua. Marah, hasud, dengki, takabur, sombong itu, buang! Itu sakinah.
Kalau sudah sakinah? Zikir kepada Allah dengan “thuma’ninah”. Lah ini, di sini adanya. Adanya di sini, di atas susu kiri. Ya, ini sih tempatnya, ya? Tapi, yang jelas, zikir, soal ini nanti rincian menurut tarekat Al Syadziliyah. Walaupun kita ndak pake ini, rincian ini, asal zikir itu kontinyu, kemudian sakinah, kemudian thuma’ninah. Nanti, nanti, nanti akan saya terangkan di situ. Tujuannya apa? Akan mendapatkan apa? Kalau sudah zikir? Kalau sudah tawajuh? Zikir? Sampai ke zikir yang thuma’ninah? Insya Allah, akan mendapatkan “musyahadah”. (Bersambung).