Setiap sore kecuali Kamis malam, gerobak hias itu selalu diterangi lampu. Libur. Setiap malam pengunjung selalu ramai apalagi malam Minggu.
Ada banyak nama Asep di tempatnya, tapi Asep yang satu itu memiliki tipikal yang susah ditebak. Terutama, oleh kerabat kerabat dekatnya. Asep dengan keanehan keanehannya.
Asep yang satu itu tidak sama dengan Asep Asep yang lain. Asep yang satu itu tergolong rajin ibadah. Meskipun, urut urutan rukun dan syarat sering terlupakan. Keanehan itu seperti disengaja. Barangkali, ia masih terinspirasi Mang Uyan, wali jadzab yang meninggal dunia dua minggu berlalu.
Tak usah pula disebut nama lengkapnya, karena kerabatnya juga sering lupa. Tapi, sebut saja namanya Asep.
Pada suatu ketika, kerabat bahkan orang orang sekampungnya juga tidak lagi ingat. Tiba tiba, Asep muncul dari keremangan malam di pos ronda di ujung jalan pertigaan. Asep berkalung sarung, berjaket, dan bertopi pet. Tak biasa. Asep memakai celana panjang yang dipotong selutut.
Penjaga ronda malam itu ada lima orang yang sedang bermain gaple di bawah terawang lampu gantung. Melihat kedatangan Asep yang tiba tiba, kelimanya terkesiap.
Dari balik jaketnya, Asep mengeluarkan secarik kertas bertulis tangan. Lalu, membentang di bawah temaram. Asep membaca puisi puisinya dengan syahdu. Setelah memecah keheningan, tak menunggu waktu lama, Asep berlalu sebelum kelima penjaga ronda sempat bertanya tanya padanya. Hanya satu kata yang terucap, “Sep!”
Asep menghilang di kegelapan di balik pohon pisang.
Lain waktu, Asep di siang, sekira jam duaan. Tepat pada detik nol nol. Dia telah berdiri di mushalla yang didirikannya di dekat rumahnya. Tak ada seorang pun, kecuali dirinya. Asep azan sendiri, kemudian iqamat dan sholat sendiri. Hingga, pada duduk terakhir, mewiridkan amalan yang sangat panjang.
Semula tidak ada keanehan. Satu dua orang yang berlalu lalang di depan mushalla hanya melirik sebentar, melihat Asep sholat sendirian. Tapi, beberapa hari kemudian mulai terdengar suara sesenggukan tiada henti. Orang mengira Asep sedang tobat. Dia sudah terlalu dekat kepada Tuhannya. Semua penyesalan sedang ditumpahkan. Orang orang berlalu lalang membiarkan.
Namun, tidak berjalan lama. Suara suara sumbang mulai terdengar. Ada yang bilang kalau Asep sudah kelewatan. Beribadah keterlaluan. Bertobat tidak sudah sudah. Kerabatnya mulai khawatir dengan kecamuk pikiran masing masing. Ada yang coba menegahnya, tapi Asep bergeming.
Kampung mulai ramai. Hari itu, penduduk desa berkumpul di depan mushalla. Tak ketinggalan Pak Lurah dan Pak RT juga tampak. Mereka coba menegah Asep lagi agar tak tersedu sedu. “Kasihan kerabat!” teriak salah seorang wanita setengah baya yang menggendong anaknya.
Asep masih bergeming.
Pak Lurah dan Pak RT melerai. Tak ada insiden. Mereka hanya merasa terusik dengan ulah Asep. Beberapa hari kemudian, atas musyawarah desa, Asep mulai ditangkap dengan tuduhan telah bikin keributan dan tindak menyenangkan. Asep digiring ke rumah sakit. Atas rekomendasi Pak Lurah, Asep mendapat fasilitas kamar dan dua orang penjaga dari kelurahan yang bertugas. Setiap hari dua orang penjaga secara bergantian.
Asep masih seperti semula. Tak henti henti sesenggukan, bahkan kian parah dan membuat penduduk desa kian khawatir.
Syahdan, tampak Asep sedang dikelilingi jawara dadu di pasar Ngairil. Dengan berkalung sarung, Asep beberapa kali memenangkan permainan. Tampak wajah kesal lawan lawannya. Berlembar lembar uang sudah dikumpulkannya ke dalam sebuah umplung. Ada ketidakpuasan dari jawara jawara dadu yang biasa mangkal di pasar itu. “Curang! Curang!” teriak mereka, bersamaan. Sembari mengucapkan sumpah serapah. “Main sulap! Main sulap!” teriak mereka lagi sambal menuding nuding Asep. Lalu, Asep dikeroyok. Digebuk ramai ramai hingga babak belur.
Sementara dua penjaga kamar di rumah sakit yang bertugas hari itu terkejut. Karena, tiba tiba serombongan penduduk desa berdatangan seraya memastikan Asep masih di kamarnya.
Dua penjaga itu tampak bingung. “Apa yang terjadi?” tanya keduanya, berbarengan.
Penduduk desa berteriak teriak, “Asep! Asep!”
Kedua penjaga bersitatap, bingung.
“Kalian menjaga Asep tidak becus! Kenapa Asep ada di pasar?” tanya Pak Lurah.
Kedua penjaga tambah bingung. “Kami seharian di sini jagain Asep, tidak ke mana mana. Asep ada di dalam kamar,” sahut penjaga.
“Kalian bohong! Asep ada di pasar Ngairil tadi. Dia dikeroyok preman preman pasar!” tambah Pak Lurah.
“Tidak! Sungguh! Sungguh Asep di kamar bersama kami!” jawab penjaga sembari menjura jura.