Cerita dari mulut ke mulut merupakan catatan dalam ingatan. Setiap orang pada masa lalu bercengkrama, bahkan pawang pelipur lara bertandang dari kampung ke kampung menebar berita. Tak ada WhatsApp, tak ada YouTube. Mereka berbagi dengan cerita-cerita tutur.
Pak Belalang dikisahkan selayak orang Melayu yang hidup bermalas-malasan dengan seorang putera. Keduanya hidup di rompok kayu di tepi hutan.
Dari kemalasan itu, tidak ada yang bisa diharapkan untuk makan sehari-hari.
Masih untung, Belalang adalah anak yang cerdik dan berani. Ia memutar otak untuk membangkitkan bapaknya semata wayang yang malas. Berpura-pura menjadi ahli nujum yang pandai, menebak teka-teki dan menemukan barang yang hilang.
Berkali-kali, Pak Belalang terjebak dalam kesulitan. Berkat Si Belalang, keberuntungan pun selalu datang. Barang-barang hilang bisa ditemukan. Teka-teki dapat dipecahin.
Setelah terlepas dari kesusahan demi kesusahan. Pak Belalang akhirnya memutuskan untuk berhenti menjadi ahli nujum. Ia membakar satu-satunya rompok miliknya. Dengan berkata kepada Sang Sultan, kitab ramalannya turut terbakar. Ia tak lagi bisa meramal sesuai kehendak permintaan.
Cerita sederhana Pak Belalang pernah populer pada zamannya. Pada saat cerita masih dituturkan.
Kini, zaman sudah berlalu. Anak-anak telah menemukan dunia mereka sendiri. Tidak dalam bentuk cerita, tapi gambar dan permainan.
Memang, gambar dan permainan itu mengandung pelajaran. Tapi, menghabiskan waktu dan mengundang kemalasan. Tak ada waktu mengaji. Tak ada waktu belajar.
Dulu, cerita-cerita tutur disampaikan untuk mengisi kesenggangan. Sambil menunggu bel ganti pelajaran. Murid-murid mendapatkan cerita dengan variasi mimik dan jenaka.
Tak dapat digambarkan, bagaimana cerita tentang jin miskin yang hidup di alamnya sendiri. Namun, memberi referensi ingatan tentang kehidupan di dunia lain. Sekelompok makhluk astral yang memerlukan penghidupan yang serupa seperti manusia di alam nyata. Mereka juga butuh logistik.
Jin miskin dalam imajinasi anak-anak demikian adalah kesantunan makhluk nyata terhadap makhluk tak nyata dan kasat mata.
Keterusikan mereka sama seperti keterusikan manusia. Mereka butuh tempat di balik alam nyata. Mereka tinggal di rumah-rumah kosong atau tempat di dalam goa dan hutan. Mereka menumpang atau bahkan meminjam tempat tinggal manusia. Di sudut-sudut kamar atau di tempat-tempat kotor. Tapi, jin miskin? Mereka butuh tulang untuk bahan dimakan. Mereka butuh ketenangan di antara keriuhan manusia di mayapada.
Cirebon, 17 April 2022.