Bukan Gus Dur namanya, kalau tidak kepedean yang overkonfiden. Sehingga membuat banyak orang gerah dan tak enak bodi. Dapat disimak misalnya kisah Yusril Ihza Mahendra yang seperti Nabi Khidir dan Nabi Musa, tidak pernah sependapat sepemahaman. Masing-masing pada level dan tingkat maqam berbeda. Namun, overkonfiden Gus Dur tentu tidak sama overdoses ahli sakau atau dokter malapraktik. Ungkapan-ungkapan Gus Dur sering di luar nalar yang memiliki aji tersendiri. Meskipun antara percaya dan tidak, tidak sedikit yang tetap mempercayainya.
Nah, Gus Dur yang selalu pede ini, bayangkan ketika masih tetap pede bercelana pendek karena bangun tidur didatangi oleh Fidel Castro yang terkesan angker sedunia. Namun, Gus Dur masih tetap santai dan mampu membuat Fidel Castro tertawa terbahak-bahak dan enggan beranjak dari tempat duduknya berjam-jam. Fidel Castro, presiden yang mahal senyum itu, seperti menemukan oase sejuk ketika berjumpa Gus Dur.
Di lain waktu, Gus Dur merasa pede kalau dirinya yang akan jadi presiden menggantikan Presiden BJ Habibie. Mungkin sugesti, ya, agar orang lain mau mempercayai dan mendukungnya jadi presiden. Kalau di zaman medsos saat ini, paling dibilang pencitraan. Tapi, itu tidak penting.
Dikisahkan, akhir tahun 1998, ketika Gus Dur berziarah ke Wonosobo. Gus Dur dihadapkan pada sidang parakiai kampung.
Cerita ini sudah sangat populer, cuma pengantar saja untuk kisah berikutnya.
Pada saat gencar-gencarnya gelora Reformasi-dan setelah Presiden Soeharto menyatakan “berhenti” sebagai mandataris MPR RI-Gus Dur ditanya tentang situasi politik kekinian.
“Pripun, Gus, situasi politik terkini?” tanya seorang kiai yang menyidanginya.
“Orde Baru tumbang, tapi negeri ini sakit keras,” jawab Gus Dur, bimbang.
“Kok bisa Gus?” susul kiai yang lain.
“Ya bisa, lha, wong menumbangkannya dengan emosi. Tanpa perencanaan. Setelah tumbang, gak tau apa yang harus dilakukan. Bahkan, negeri ini diambang kehancuran,” sahut Gus Dur. “Reformasi gak genah!”
Gus Dur pun menceritakan runtut dan kronologis yang sedang dihadapi oleh Indonesia.
Terakhir, dalam sidang parakiai tingkat kampung itu, pembicaraan berujung pada suksesi kepemimpinan. Karena, pada tingkat kepemimpinan itulah arah perjalanan negara dan bangsa dapat bertumpu. Tongkat komando ada di tangan pemimpin. Apalagi pada situasi yang kian karut marut di alam demokrasi.
Di sela jeda yang entah sudah berapa kali, Gus Dur ditanya seorang kiai lagi. “Gus, kinten-kinten, siapa yang paling pas jadi presiden mendatang?”
Dan, entah, tiba-tiba, ilham masuk ke dalam hati Gus Dur yang paling dalam. Di tengah samudera keheningan malam yang kian larut. Dengan enteng, Gus Dur menjawab, “Ya saya, hehehe..” ujarnya.
Nah, singkat cerita, setelah Gus Dur resmi dilantik menjadi presiden oleh MPR RI, ucapan Gus Dur mulai terbukti. Ancaman disintegrasi kian meruyak. Sparatisme di Aceh dan Papua meningkat. Tanda-tanda dan tekanan dari luar negeri kian kuat. Kuku-kuku tajam imperialisme global mulai mencakar. Posisi Utara Selatan dan Timur Barat mulai tidak stabil setelah Uni Soviet runtuh oleh demokrasi. Indonesia yang belum siap berdemokrasi pun turut riuh euphoria. H Rhoma Irama cepat-cepat melantunkan satu lagu dan cepat pula populer yang diberi judul “Euphoria”.
George W. Bush (menjabat presiden AS antara 2001-2009) yang baru saja terpilih langsung mengontak Gus Dur. Entah memberi tawaran perpanjangan masa jabatan presiden, entah apa? Bahasanya kurang jelas. Bukan rahasia umum, kalau Amerika suka turut campur urusan rumah tangga negara lain seperti di Irak. Namun, pada intinya, Bush menawarkan bantuan perangkat dan peralatan keamanan negara yang masih gonjang-ganjing itu. Penuh huru hara dan harap-harap cemas. “Akan banyak terorisme,” ungkap Bush.
Gus Dur paham, bantuan tersebut tentu memiliki nilai tawar dan konsekuensi. Tidak cuma-cuma. Tidak ada makan siang gratis istilahnya. Dengan tegas dan tak mau kalah gertak, Gus Dur menolak dan berkata, “Tidak. Saya sendiri terorisnya!”
Jawaban tegas dan lugas Gus Dur tersebut kemudian dibenarkan pada hari berikutnya. Teroris itu benar-benar ada. Entah, datang dari mana? Di luar perkiraan orang-orang yang mendampingi Gus Dur ketika ditelpon oleh Bush. Sebuah kilang minyak di Aceh meledak dan terbakar. Hal ini mengejutkan berita-berita media massa, Amerika, dan tentunya Presiden G.W. Bush sendiri.
Sekali lagi, dengan over konfiden, Gus Dur lalu menelpon Presiden Bush. “Nah, kan, sudah saya bilang, saya terorisnya?”
Bush bergeming.
Sejak itu, parapengusaha luar negeri berdatangan ingin menanamkan investasi serta bantuan-bantuan gratis seperti dari Raja Hasanal Bolkiah dari Kerajaan Brunei Darussalam. Parapengusaha ekspatriat merasa nyaman berinvestasi, karena merasa bakal tidak ada ancaman keamanan. Mereka beranggapan, masak Gus Dur yang teroris itu mau mengganggu investasi mereka.
Sebagai orang pesantren, ketika Kang Zastrouw Al Ngatawi ditanya soal Gus Dur teroris itu, ia terkekeh, menjawab, “Iya, bener, teroris. Terong diiris-iris.”
Cirebon, 5 Mei 2022.