Tidak hanya di bidang pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia pun umat Islam masih dikelola oleh pihak asing. Mulai dari stigma hingga praktik-praktiknya, baik berupa praktik politik maupun praktik-praktik pelayanan.
Sudah sejak abad ke-19, Muhammad Abduh (1849-1905) memberikan kritik diri (self criticism) kepada umat Islam melalui tafsir Al Manar, namun tidak jua relevan. Bahkan, di berbagai belahan dunia, pengikut-pengikut Abduh banyak yang terjebak kepada praktik-praktik ideologis seperti formalisme syariat dan politik Islam. Dengan kata lain, umat Islam belum sampai kepada cita-cita yang benar-benar diinginkan, malah terjebak kepada fanatisme ideologis-bukan Islam yang dicita-citakan.
Setidaknya, ada lima sebab di sini yang dapat dikatakan demikian, umat Islam mundur, karena kalah dari umat-umat lain yang bisa dibilang minoritas jumlah pengikutnya.
Sebab pertama adalah mendapat stigma mundur. Stigma mundur ini ditulis dan diciptakan oleh pihak asing dan umat Islam sendiri. Mereka membuat satu narasi yang sama tentang kemunduran umat Islam. Diantaranya adalah stigma Islam yang dibangun karena “penaklukan” (orang Islam menyebutnya “fathu”). Sehingga umat Islam diasumsikan sebagai umat yang gemar berperang. Padahal, hal demikian merupakan gejala umum sejarah. Coba dibaca lagi ekspansi (fathu) suku-bangsa Roma ke Mesir, suku-bangsa Persia ke Eropa, suku-bangsa Yunani ke Persia dan India, dan seterusnya. Jadi, yang gemar berperang itu bukan semata umat Islam, tapi gejala umum sejarah semua suku-bangsa. Tidak bisa disematkan hanya kepada umat Islam saja. Sayangnya, umat Islam malah hobi berperang dan berlomba untuk membeli senjata. Lupa, bagaimana caranya damai dan membuat senjata.
Kedua, terpukau kepada kemajuan pihak lain. Keterpukauan Moh Abduh sehingga ia menemukan “agama Islam” di Eropa, karena Abduh memang abai kepada historisitas. Abai kepada tradisi dan budaya sendiri. Keterpukauan ini yang menyebabkan umat Islam terus merasa inferior, rendah diri, di hadapan suku-bangsa lain. Padahal, tidak sedikit umat Islam yang mempelajari historisitas (kesejarahan) pihak lain sehingga diambil yang baiknya. Mereka mereproduksi kembali teknologi, astronomi, akhlak dan etika yang disesuaikan dengan situasi dan tempat, dan seterusnya. Ada banyak karya yang dihasilkan oleh umat Islam di luar bingkai formalisme agama. Mereka terus belajar dan mereproduksi.
Ketiga, malas membongkar. Karena takut kualat, melanggar adab, dan memuja mitologi.
Di satu sisi, mitologi tidak salah di dalam menyajikan sebuah narasi untuk membangun kreativitas. Bisa saja mitologi dan mistik ditutup untuk menjawab persoalan yang belum selesai dan ditemukan jawabnya. Namun, meyakini mitologi sebagai sebuah keyakinan mutlak adalah sama dalam membodohi diri. Sebab, sekali tafsir salah dibuat, berikutnya-kesalahan berantai dan turun temurun berlangsung-dibenar-benarkan hingga menjadi keyakinan umum dan abai pada proses. Manusia di muka bumi memang tidak bisa lepas dari mitologi hingga nanti, namun “keyakinan benar” terhadap mitologi itu yang salah.
Keempat, bersifat konsumtif. Karena sebab kemalasan tersebut, mereka dimanja oleh fasilitas yang sengaja dibuat oleh pihak lain. Keinginan semua umat Islam dicukupi. Dalam bahasa thariqah dapat diistilahkan “karena dimanja oleh nafsu”. Bisa jadi demikian. Dalam hal sumberdaya, umat Islam lebih percaya pada pihak lain daripada diri sendiri. Mereka benar-benar tidak mau menguasai kecuali dikuasai. Lalu, muncul teori hegemoni seolah-olah mereka dikalahkan. Padahal, yang membuat kalah adalah mereka sendiri. Pun, mereka menjadi terlalu percaya diri sehingga Islam dianggap sebagai satu-satunya ideologi yang unggul dan mengabaikan historisitas dan proses. Bagaimana Islam juga dapat dimiliki oleh semua umat manusia, bahkan agama di luar Islam.
Kelima, suka nge”download”. Gejala download dan copy paste menjadi tren umum. Padahal, tidak sedikit, gejala demikian sangat berbahaya, meskipun tidak sedikit pula ada manfaatnya. Tidak berpikir secara proporsional mengakibatkan umat Islam tidak menjadi kreatif, misal nge-download hadis “semua bid’ah adalah sesat. Sementara yang sesat tempatnya di neraka”. Mengapa hasil-hasil download tersebut tidak dicerna dan diolah kembali?
Cirebon, 5 April 2022.