Pesantren yang memiliki latar belakang sosial yang komplit belakangan ini cenderung elit dan tertutup. Maka, tidak heran, jika kemudian Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menyebut pesantren demikian sebagai sebuah “benteng” daripada agen perubahan sebagaimana yang sering digaungkan oleh parasantri. Pergeseran makna kata dari “agen perubahan” ke arah “penjara suci” meskipun terkesan remeh temeh, namun cukup merepresentasikan situasi sosial di pesantren tanpa sadar. Tidak saja pola pendidikan dan kurikulum yang tertutup, namun lebih dari pada pergaulan dan persentuhan sosial. Semestinya sebuah pesantren tidak menutup diri bagi lingkungannya sebagaimana zaman dahulu. Ketika pesantren dapat berasimilasi dengan lingkungan sosialnya sebagaimana seorang kiai biasanya memiliki peran multifungsi. Adakalanya masyarakat bertanya tentang hukum-hukum fiqh, adakalanya meminta jopa japi mengobati penyakit, bahkan adakalanya bertanya tentang musim bertani. Kiai zaman dahulu harus menguasai banyak peran di samping mengajar santri-santri di pesantren sehingga memerlukan pengalaman yang luas dalam banyak bidang keilmuan.
Pada zaman sekarang, pesantren sudah sering membatasi diri sebagai penjara suci. Ketika parasantri dikurung selama dua puluh empat jam di dalam pondok. Tidak boleh keluar dan jauh dari pergaulan masyarakat. Selama belajar di pesantren, mulai dari yang setahun, dua tahun, atau bahkan tujuh atau sepuluh tahun, parasantri hanya berkutat dalam aktivitas-aktivitas yang telah ditetapkan pesantren. Waktu dihabiskan untuk menyelesaikan program-program kurikulum dan membaca kitab.
Tentu, tidak ada salahnya, jika pesantren dibuat demikian. Pertama, untuk menjaga efektivitas belajar dan intensitas secara internal. Kedua, parasantri tidak terkontaminasi pada pergaulan bebas. Dan, ketiga, akan melahirkan santri yang benar-benar selektif.
Namun demikian, sebaik-baik sistem tentu masih ada kelemahan-kelemahannya, baik dengan pola tertutup maupun terbuka. Sebuah pesantren akan mengambil risikonya. Bagi pesantren-pesantren besar dengan sumberdaya yang kuat tentu akan memilih model pesantren tertutup. Sementara pesantren-pesantren kecil dengan keterbatasan sumberdaya akan memilih model pesantren terbuka. Singkat kata, semakin ekslusif sebuah pesantren akan semakin elit dan tertutup.
Konsekuensi yang dihadapi oleh sebuah pesantren tertutup adalah terjadinya pengabaian aspek-aspek “historisitas”. Artinya, melihat sesuatu tidak berdasarkan pada realitas yang ada. Semua serba normatif.
Pengabaian historisitas ini akan mengesampingkan ekses-ekses sosial dan humanitas pesantren. Melihat problematika tidak berdasarkan pengalaman empiris. Tidak pula melihat persoalan dari aspek kronologinya. Sehingga melihat sesuatu secara lebih sensitif dari sudut perspektif. Jika bertentangan dengan perspektif maka akan muncul sikap defensif. Mereka tidak coba bersikap asertif sebagaimana “kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain secara jujur dan terbuka dengan tetap menghormati hak pribadi dan orang lain (Anfajaya & Indrawati, 2016). Dengan demikian, kemampuan kognitif yang dibangun di dalam pola pesantren tertutup ini adalah kemurungan definitif. Artinya, mempelajari literasi agama amat sangat tipis sekali, tidak mementingkan faktor psikologis. Hal ini berdampak pada pembacaan yang dangkal. Misal, di pesantren dikenal dengan istilah “adab lebih tinggi atau lebih utama daripada ilmu”. Tentu, hal ini tidak salah dalam metode belajar. Namun, adab tersebut bersifat tentatif, tidak terukur. Tidak ada tolok ukurnya, karena setiap adat istiadat memiliki cara dan takaran berbeda-beda. Setiap daerah berbeda-beda cara pandang dan tolok ukur sikapnya.
Cirebon, 29 April 2022.