Di Indonesia memiliki ragam ucapan untuk kata raja seperti Raka, Prabhu, ratu, atau sultan. Nama-nama tersebut sering melekat pada gelar-gelar yang dimiliki secara lokal dan latar belakang sosial seperti panembahan, senopati, dan sebutan-sebutan lain yang berkonotasi makna kelokalan suatu daerah. Dan, tidak jarang terjadi penurunan status setelah terjadi perubahan struktural. Bupati misalnya adalah raja lokal dalam pengertian kepala suku (atau lebih kompleks dalam perbedaan-perbedaan wangsa dan warna kulit), sementara di era modern turun status menjadi bagian dari sebuah negara.
Dari sini, dapat dipahami bagaimana candi Prambanan didirikan oleh ratusan kepala suku, kemudian mendaulat Raka i Kayuwangi sebagai raja utama.
Begitupun pesona Pramodawardhani yang begitu kuat menyatukan berbagai wangsa menjadi sosok abadi dalam lakon cerita Rara Jonggrang. Walhasil, siapa ratu tinggi langsing dalam mitologi Rara Jonggrang tersebut? Tidak lain, dia adalah Pramodawardhani Sang Ratu.
Tidak mudah untuk mengatakan Mpu Kumbhayoni, penguasa (raka) di Walaing, sebagai pemberontak terhadap penguasa Borobudur. Sejarah Jawa memang sengaja dibuat mudah dan gampang untuk mengatakan “pemberontakan”. Padahal, sistem-sistem yang dibangun tidak seperti dalam persepsi zaman sekarang ketika Indonesia menjadi satu. Mereka merupakan raja-raja suku yang memiliki wilayah kuasa tersendiri. Mpu Kumbhayoni, Raka i Walaing, adalah raja yang bertahta di istana Boko dekat Prambanan sekarang. Ia merasa curiga atas keberhasilan Wangsa Syailendra di Bhumi Sambhara Buddhara yang mendirikan candi nan megah.
Hal ini bukan saja telah menimbulkan rasa iri dan dengki, namun menjadi pemicu pertengkaran dan akhirnya pertumpahan darah yang ditandai dengan model-model formasi bertempur yang ditemukan oleh pengamat sejarah seperti Supit Urang. Sebuah jurus pasukan menjepit musuh. Ditengara formasi perang paling tua mulai didapat dalam data sejarah kuna dari zaman Mataram yang sering disebut Mataram Kuno ini.
Dengki yang kedua muncul manakala Raka i Pikatan, Mpu Manuku, berhasil menikahi puteri mahkota Borobudur, Pramodawardhani. Sama-sama Waisnawa (pengikut Syiwa) namun berbeda amalan. Jika Mpu Kumbhayoni menggunakan Bhirawa, sebaliknya Mpu Manuku menjalani Tantra. Bhirawa sebagaimana dipahami belakangan adalah pelaku ritual dengan kenikmatan tubuh seperti madon (main perempuan), minum (arak), madat, main judi (menghambur uang), dan menghalalkan pencurian.
Kesalehan Mpu Manuku telah menarik minat Samaratungga. Dalam pandangan filosofinya, Samaratungga berhasil menyatukan inti-inti ajaran Syiwa dan Buddha.
Sepeninggal Samaratungga, Pramodawardhani naik tahta menggantikan ayahnya. Penduduk Bumi Mataram mulai tidak tenteram dengan Mpu Kumbhayoni. Mereka pun meminta perlindungan kepada penguasa Borobudur. Pertikaian antarsuku semakin meningkat.
Raka i Kayuwangi, Dyah Lokapala Sri Sayyawasanottunggadewa, putera Pramodawardhani yang masih muda mengangkat senjata melawan Mpu Kumbhayoni. Didampingi pamannya, Bala Putera Dewa, dia berhasil menghimpun kekuatan besar.
Dalam pertempuran besar, Raka i Kayuwangi berhasil mengalahkan Mpu Kumbhayoni dan memporakporandakan istana Ratuboko.
Usai pertempuran besar itu, Rakai i Kayuwangi mendirikan candi Prambanan. Terdapat 221 candi sebagai manifestasi 221 suku-suku yang berhimpun kepadanya.
Setelah Pramodawardhani mangkat, Raka i Kayuwangi naik tahta menggantikan ibunya. Sementara Bala Putera Dewa pindah ke Palembang menjadi raja di Bumi Sriwijaya.