Pesantren Tebuireng terus mengalami evolusi pemikiran. Sejak masa Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari, pembaharuan demi pembaharuan terus berlangsung, mulai dari segi fisik dan ornamen hingga sistem dan bangunan epistemologi pesantren. Setidaknya, Pesantren Tebuireng mengalami beberapa evolusi pemikiran secara bertahap. Pertama, tahap peletakan batu fondasi. Tahap ini bisa dikatakan sebagai tahap peletakan dasar-dasar pemikiran Hadratussyekh sebagai “muassis”, pendiri pesantren. Pada tahap ini, proses belajar dan mengajar masih seperti pesantren-pesantren salaf pada umumnya dengan kitab kuning sebagai basis epistemologi. Fiqh Syafi’iyah adalah ornamen dasar sebagai landasan berpikir dan perilaku masyarakat Tebuireng dan sekitarnya. K.H. Adlan Aly adalah pemegang otoritas fiqh dan tarekat pasca Hadratussyekh di Pesantren Tebuireng. Pada tahap ini pula, Hadratussyekh sesuai dengan spesifikasi yang dimilikinya memperkuat tradisi melalui kajian-kajian hadis dan sunnah. Tidak sedikit santri-santri Pesantren Tebuireng belakangan memegang spesialisasi bidang ini seperti K.H. Ali Mustofa Ya’kub dan K.H. Syuhada Syarif.
Kedua, tahap ilmiah. Pesantren Tebuireng mulai mengenalkan sistem klasikal melalui “Madrasah Nidhamiyah” yang didirikan oleh KHA Wahid Hasyim dan K.H. Moh Ilyas yang telah direstui oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari. Madrasah ini bertujuan menambah materi-materi pelajaran umum ke dalam kurikulum pesantren. Melalui madrasah tersebut pula, pendidikan dan pengajaran sudah menggunakan sistem kognitif yang disampaikan dengan cara klasikal. Pada pola kurikulum ini, santri-santri belajar tidak lagi melalui satu arah seorang guru, melainkan dari beberapa guru.
Meskipun sudah menggunakan sistem kurikulum, Pesantren Tebuireng masih menerapkan pola-pola satu arah. Sebagaimana masing-masing guru yang memiliki wewenang untuk mengampu bidang-bidang khusus akan menyeleksi santri-santri yang mengikuti program-program khusus, sebagaimana K.H. Idris Kamali yang memiliki spesifikasi bidang Ushul Fiqh, K.H. Ma’shum Aly yang spesialis Ilmu Falak dan Gramatika Bahasa Arab, KHM Yusuf Masyhar yang spesialis Tahfiz dan Qiraat Al-Qur’an, Dr. KHA Musta’in Syafi’i yang spesialis Ilmu Tafsir Ahkam, dan lain-lain. Pada masa Pesantren Tebuireng di bawah kepemimpinan KHM Yusuf Hasyim, santri-santri senior membentuk sebuah wadah “Majlis Tarbiyah wat Ta’lim”. Wadah yang turut menentukan kebijakan-kebijakan pesantren non struktural, terutama epistemologi kompleks keislaman.
Ketiga, tahap pemikiran. Tahap ini sudah dimulai semasa Pesantren Tebuireng di bawah kepemimpinan KHM Yusuf Hasyim, sejak didirikan perguruan tinggi, Universalitas Keislaman Hasyim Asy’ari (UNHASY). Pada tahap ini, terdapat santri-santri dewasa yang sudah menguasai ilmu-ilmu dasar kepesantrenan (ilmu-ilmu alat). Puncak dari tahap ini setelah Pesantren Tebuireng di bawah kepemimpinan K.H. Salahuddin Wahid.
Gus Sholah (K.H. Salahuddin Wahid) menerapkan satu pola kepemimpinan terpusat. Tidak seperti pada masa sebelumnya, masing-masing pesantren memiliki spesifikasi bidang kajian. Di dalam pengembangannya, Gus Sholah membuat sebuah lembaga prestisius, Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari. Di samping, pesantren-pesantren teknologi dan cabang-cabangnya di berbagai daerah.