Roger M. Keesing dalam “Theory of Culture” pada hampir separuh abad yang lalu, memberi pemahaman: budaya sebagaimana “Budaya Yanomamo”, “budaya Jepang”, “evolusi budaya”, “alam versus budaya”; para ahli antropologi masih saja terus menggunakan kata budaya tersebut, dan masih mengira: kata budaya tersebut memiliki suatu arti.
Dalam pengertian “turats” (warisan), Moh. Abid Al-Jabiri memberi pengertian “sebuah kehadiran”, “hadlarah”; warisan budaya dan agama Islam yang pernah hadir dalam kurun waktu tertentu dan tetap relevan di era kekinian. Maka, ada baiknya untuk mengetahui teori-teori budaya terlebih dahulu yang dapat dilihat dari dua sudut pandang teoritik berikut:
- Evolusionari
Teori evolusi ini ditujukan kepada manusia purba atau makhluk hominid seperti Australopithecus dan Pithecanthropus. Pada taraf ini, manusia beradataftasi dengan lingkungannya. cara penyempurnaan dan penyesuaiannya melalui proses pembelajaran kultural (cultural learning); memungkinkan manusia untuk membentuk dan mengembangkan kehidupan dalam lingkungan ekologi tertentu seperti di dalam goa, di tepi pantai, atau di tengah laut. Dengan demikian, penting untuk menyikapi saling keterkaitan antara komponen biologis dan komponen kultural dalam tingkah laku manusia. Agresi (serangan), teritorialitas, peranan-peranan jenis kelamin, ekspresi wajah, seksualitas, dan ranah-ranah lain ketika budaya dan biologis saling terkait untuk dibicangkan.
Budaya pada taraf adatif ini adalah sistem (dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Dalam “cara-hidup-komuniti” ini, termasuk teknologi dan bentuk organisasi ekonomi, pola-pola menetap, bentuk pengelompokan sosial dan organisasi politik, kepercayaan dan praktek keagamaan, dan seterusnya. Dengan demikian, konsep budaya turun menjadi pola tingkah laku yang terikat kepada kelompok-kelompok tertentu seperti “adat istiadat” (customs) atau “cara kehidupan” (way of life); perubahan budaya menjadi sebuah proses adaptasi yang bermaksud sama dengan seleksi alam.
- Ideasional
Teori ide ini merujuk kepada budaya sebagai sebuah sistem kognitif atau pengetahuan, sistem struktural-simbolik. Sebagai simbolik, Levi-Strauss memandang budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki bersama, dan merupakan ciptaan pikiran (creation of mind) secara kumulatif sebagaimana suatu kelompok masyarakat tertentu sepakat jam masuk sekolah adalah pukul 07.00, pakaian resmi adalah safari, ide-ide kolaborasi lagu dan musik, modifikasi alat-alat teknologi, dan lain-lain. Kesepakatan demikian memiliki makna simbolik yang dipahami secara bersama dalam waktu yang efektif. Dengan demikian, warisan budaya Islam yang hadir di Nusantara (Indonesia) pada masanya tidak saja memiliki makna yang berarti evolusionari, melainkan juga ideasional. Ide atau pandangan tentang agama dan budaya bertemu dalam satu kurun waktu tertentu.
Demikian pula, ketika Islam dan budaya menjadi suatu keniscayaan datang dan hadir di Nusantara (Indonesia). Terdapat ide-ide yang bertemu kemudian menjalin makna sebagaimana Sanggha (persaudaraan) dalam komunitas pembelajar kaum Buddha diterjemahkan ke dalam komunitas umat Islam yang belajar di pesantren-pesantren.
Komunitas pembelajar kaum Buddha demikian telah merambah jauh kepada peradaban Persia sebelum akhirnya dapat diadopsi ke dalam sebuah sistem sosial kaum muslim berupa “khanaqah”, “zawiyah”, “simha”, “perdikan”, maupun “pesantren”. Dari pemahaman komunitas pembelajar ini, kata Wali Sanggha dapat diartikan sebagai “komunitas pembelajar” atau “komunitas persaudaraan”.
Struktur Komunitas Tiratana Buddha | ||||||||
Buddha | Dhamma | Sangha | ||||||
Struktur Komunitas Pesantren | ||||||||
Wali | Masjid | Asrama | Kitab Kuning | Santri | ||||