astagfirullah
Allahumma shalli ‘ala sayyidinaa Muhammadi wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in
Jumat pagi kemarin, sepulang ziaroh maqbaroh orang tua, nenek, kakek dan mertua, perut saya sakit hebat, rasanya seperti melilit lilit dan ditusuk tusuk. Saya minum obat mag, malah mencret dua kali, saya pun minum diapet, dua sekaligus. Mencret berhenti, tapi perut kembung dan sakit perutnya terus berlanjut.
Ashar, Jumat kemarin saya berobat ke dokter di Kecamatan, kata dokter asam lambung saya naik. Dikasihlah obat asam lambung. Jumat malam Sabtu pun, saya usahakan tidur dari sore, jam 20.00 saya sudah tidur, berharap ada perbaikan di lambung.
Pagi Sabtunya, bangun subuh, memang seger, terasa vit. Tapi setelah shalat subuh, diare saya kambuh lagi…jam 07.00 pagi sudah 4 kali buang air besar, mencret seperti air, keran, deras. Badan pun mulai berasa lemas. Saya bikin larutan oralit, dan minum teh pahit. Istriku bikin rebusan daun jambu. Tapi karena badan tambah lemas, sy pergi ke dokter di kecamatan yang sama seperti kemarin. Oleh dokter obat yang kemarin Jumat diubah dengan obat anti diare, meski tetap ada obat asam lambungnya yang diminum sebelum makan
Sabtu siang, diare mereda, setelah berobat, hari Sabtu itu memang masih buang air, tapi jarang, tiap 5 jam. Malam Ahad diare berhenti
Pagi Ahadnya, saya sudah tidak diare. Tapi perut malah jadi kembung, bergah, dan badan terasa lemas.
Hari Ahad ini ada acara Khotmil Qur’an dan Tahlil Keluarga, untuk mendoakan Mimi (ibunda kami) yang wafat sudah ke-100 harinya. Acara Semaan Al Qur’an diselenggarakan di rumah orang tua yang di Ujungsemi, dari pagi sampai Ashar. Karena masih kembung, bergah dan lemas, sy tidak bisa hadir nyimak Semaan Qur’an dari pagi, dari awal.
Tapi pas acara doa Khotmil Quran, meski masih lemas, sy paksakan hadir dan ikut mengaminkan doanya.
Bada Asharnya diadakan tahlil di musholla orang tua kami di Ujungsemi. Kali ini sengaja tidak mengundang banyak orang karena di desa kami ini pun yang jadi korban Covid sudah ada beberapa. Kami mengundang hanya keluarga saja, termasuk keluarga Ibu Kami. Tapi tetep berkat tahlilnya kami bagikan ke tetangga sekitar, meski tidak kami ajak tahlil. Bukan apa apa, ini untuk mencegah dan memninamilisir penularan Covid yang sudah masuk desa.
Sehabis ikut tahlil 100 hari wafatnya ibu kami, badan saya terasa enak dan sehat. Malam Senin pun bisa mengerjakan pekerjaan yang tertunda sampai malam, jam 24.00, dan jam 01.00 dini hari Senin baru tidur
Pagi Seninya, saya kembung lagi. Tapi seharian masih bisa menguji dan membimbing skripsi mahasiswa via online.
Eh malam Selasanya, sehabis makan malam, perut rasanya tambah kembung, bergah, dan sakit melilit lilit. Saya mulai mengadu dan mengerang. Kebetulan ada tukang pijat yang biasa dengan kami, datang ke rumah. Kaki saya dan punggung saya pun dipijitnya, rasanya agak enakan. Bisa kentut, dan perut sedikit lega. Alhamdulillah malam itu , saya bisa tertidur dari sore jam 21.30 dan bangun jam 05.00, agak kesiangan.
Bangun tidur rasanya badan segar. Tapi setelah shalat subuh perut kembali kembung, bergah, dan terasa melilit lilit. Saya panik. Minum obat dokter, lalu sarapan. Setelah sarapan bukannya redah, tambah sakit, saya bawa jalan pagi, sakit, nggak enak, saya bawa duduk juga sakit, saya bawa rebahan juga nggak enak, sakit. Wah wah, saya mulai panik. Kenapa ini yah?
Dengan ragu saya putuskan ke rumah sakit Sumber Waras di Ciwaringin, di situ ada dokter penyakit dalam. Jadwal menguji dan membimbing mahasiswa pun saya batalkan, saya minta maaf pada Fakultas kampus tempat saya mengajar dan kepada beberapa mahasiswa yg sedianya hari ini bimbingan online.
Saya, ditemani istri dan Kaka saya, juga supir, berangkat ke rumah sakit. Setelah ketemu dokter penyakit dalam dan didiagnosa, kata dokter saya nggak apa apa, hanya asam lambungnya lagi naik saja. Saya bilang, tapi ini dok perut sebelah kiri saya sakit sekali, nyeri kadang seperti tak tertahankan. Perut melilit lilit.
“Yah untuk menyakinkan, yah silahkan tes USG Abdomen (USG Perut), begitu kata dokter. Saya setuju, dokterpun menulis Surat Rujukan untuk saya bisa tes di Bagian Radiologi rumah sakit ini.
Tapi pas daftar ke bagian Radiologi, kata petugasnya disyaratkan Tes SWAB Antigen dulu. Saya ragu…aduh gimana terus apa nggak nih…setelah mikir mikir, saya sanggupi untuk tes Antigen dulu.
Tes Antigen tidak lama, nunggu hasilnya jadi juga sebenarnya tidak lama. Hanya saja saya kok dag dig dug yah..jangan jangan hasilnya sy positif Covid. Jangan jangan diare dan kembung saya akibat Corona varian baru yang dikabarkan menyerang pencernaan itu.
Pikiran saya sudah ke mana mana. Kalau saya positif, perut saya masih sakit. Istri saya mau menemani sakit saya nggak yah? Terus kalau isolasi mandiri saya tinggal di mana? Apa saya pergi ke Ciputat saja dan biar istri saya di Cirebon. Tapi ini kan PPKM Level 4 dilanjutkan lagi yah…haduh gimana saya ini. Apa saya tinggal di rumah orang tua di Ujungsemi yang kosong itu. Memangnya nanti jamaah musholla ortu saya tidak ketakutan dan menjauhi saya yah? Apa saya nyewa penginapan murah saja di pinggir kota, agar tidak menulari keluarga Bagaimana yah? Pikiran saya berkecamuk. Tensi darah naik, cemas, jantung berdegup lebih kencang.
Saya usahakan dzikir, istighfar dan baca shalawat. Tapi tetap nggak bisa fokus, cemasnya kayaknya lebih besar. Pikiran sadar berzikir dan bershalawat. Tapi perasaannya ke mana mana, cemasnya minta ampun. Saya jadi paham kenapa bebeberapa orang tidak mau di SWAB. Rupanya rasanya begini.
Setelah 15 menit, nama saya dipanggil, dan petugas laboratorium menyodorkan surat hasil SWAB Antigen….ahlamdulillah, hasilnya negatif. Yang artinya kembung saya dan gangguan lambung saya bukan karena Covid. Plong rasanya, hati kembali tenang. Degup jantung kembali normal, plong rasanya.
Y Allah, ternayta zikir saya masih dangkal, masih kalah sama cemas. Astaghfirullah ….
Bagaimana lalu USG perutnya? .nanti saja ..cerita bersambung nanti yah…yang penting kita semua sehat ..amin