Pagi, pukul setengah sebelas, 25 April 2022 tepat 23 Ramadhan 1443.
Lelaki jangkung itu telah tiba di Cirebon setelah berangkat sejak Subuh dari terminal Depok. Dia sudah membasuh mukanya dari kamar mandi yang terletak di samping muka rumah ketika bersiap akan ke Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, untuk menemui Ibu Sunarih. Ibu Sunarih adalah salah satu di antara tiga penenun tradisional terakhir di Indramayu.
Pagi itu, Selasa, adalah sudah tak mampu membendung hasrat Om Abul (Abang Bule) untuk pergi ke Cirebon karena membaca sebuah artikel tentang seorang penenun lanjut usia yang tinggal di Indramayu. Ditahan untuk acara setelah lebaran pun, ia sudah tak sabar.
Tiba di Balaidesa (Pekuwuan) Juntikebon, pukul 11.30 menjelang waktu Zuhur. Setelah mengarahkan laju mobil belok ke arah kanan dan memasuki gang sempit, Kesambi, rumah Ibu Sunarih pun dapat dijumpai. Rumah yang terselip di antara rumah-rumah dengan pagar bambu yang rapat sehingga membuat mobil sedan mini pun tak mampu berbelok arah.
Perempuan tua itu menyambut dengan antusias meskipun di bawah terik panas bulan puasa. Ia melayani dengan gembira. Satu persatu bercerita tentang industri tenun yang sudah mulai punah itu. “Anak-anak sekarang tak sabar untuk belajar menenun seperti ini,” ungkap Ibu Sunarih, sembari mengeluarkan satu persatu hasil tenunannya.
Ibu Sunarih dan Kain Tenunnya
Perempuan sepuh itu masih tampak tangkas. Tak terbersit lelah, walau bibirnya tampak mengering. Dia menjelaskan jenis-jenis kain yang dihasilkannya. Dia menarik sebuah selendang panjang berwarna-warni. “Selendang Suwuk biasa digunakan untuk keperluan menggendong bakul bagi ibu-ibu yang mengantar makanan ke sawah untuk suaminya sekaligus berfungsi sebagai penutup kepala,” terangnya, sambil mengurai selembar kain panjang berwarna putih yang terdapat lis biru di pinggirnya. “Ada pula selendang Kluwungan yang agak lebih besar, digunakan oleh adik-adik kalau ada kakak yang mati dalam satu keluarga.”
Tangan Ibu Sunarih masih lincah membolak balik kain-kainnya. “Pembuatan satu lembar kain bisa selesai empat atau lima hari. Harganya pun relatif antara 150.000 sampai 400.000 rupiah. Tidak banyak yang pesan di musim kain industri mesin seperti sekarang. Kalaupun ada untuk kegiatan-kegiatan resmi acara pengantin,” lanjutnya.
Tenunan itu dinamakan “Gedogan” karena suaranya yang khas. Dog-dog. Benturan suara kayu asam yang sudah dirupa menjadi alat merapatkan benang.
Kerumitan untuk memasukkan benang satu persatu ke dalam selipan adalah yang membuat kesabaran seseorang bisa gagal. “Semua peralatan ini peninggalan dari almarhumah ibu saya. Dari dulu ya ini, tidak ganti-ganti. Kalau kehabisan benang, saya biasa diantar anak perempuan sulung saya naik sepeda motor ke pasar Plered, Cirebon,” jelasnya.
Jarak yang jauh. Bila dilihat melalui “Google Map” kurang lebih satu jam perjalanan mobil pribadi.
Percakapan dan praktik tenun itu sungguh menarik. Tak terasa waktu sudah menjelang Ashar. Wajah Ibu Sunarih masih antusias setelah Stefan bertanya banyak hal tentang peralatan yang digunakan olehnya.
Bagi Stefan, peralatan tenun yang digunakan oleh Ibu Sunarih masih tampak banyak kekurangan bila dibandingkan dengan komunitas-komunitas tradisi tenun yang pernah dikunjunginya di daerah Flores atau Toba. Kurang lestari. Biasanya, komunitas kerajinan kain tenun memproduksi sendiri benang-benang mereka. Tapi, kegigihan Ibu Sunarih bersama kedua temannya di Indramayu diakui kehebatan mereka, terutama dalam melintasi zaman.
Tertarik pada Keislaman Suku-bangsa Viking
Namanya Hans Stefan Danerek, Doktor lulusan Sastra Indonesia di Universitas Swedia. Ia tertarik pada studi sastra Indonesia karena berharap bisa berkunjung dan melanglang buana di Indonesia. Setelah menyelesaikan studinya, Om Abul, panggilan akrabnya di Indonesia, ia menyelesaikan terjemahan-terjemahan karya susastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Di samping, minatnya dalam menyelesaikan sebuah kamus bahasa daerah, anak suku Palu’e, di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Perhatiannya mulai beralih kepada kerajinan tenun setelah mendapat undangan dari teman-temannya di Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Di bidang bahasa pula, baru-baru ini, Stefan mendapat penghargaan Translator’s Prize dari Akademi Swedia untuk Weavers Stories from Island South East Asia. “Semacam Balai Bahasa di Swedia,” jelasnya.
Dari bidang bahasa dan sastra ini pula akhir-akhir ini membuat Stefan mulai tertarik pada sejarah dan budaya. Baginya, suku-bangsa Viking (suku-bangsa awal negara-negara Skandinavia) tidak dikenal sebagai suka berdagang. Apalagi stereotip yang dibangun oleh suku-bangsa Romawi yang suka memberi stigma negatif sebagai suku bangsa liar dan tidak berbudaya.
Padahal, suku-bangsa Viking adalah yang membangun kota-kota perdagangan di Eropa Timur. Kata “Russ” menurut Stefan adalah sematan suku-bangsa Viking yang telah mendirikan kota-kota dagang di wilayah Rusia sekarang. Mulai dari Laut Tengah (Mediterania) hingga Laut Hitam (Kaspia). Ada persentuhan budaya antara suku-suku-bangsa Viking dan kaum muslimin pada waktu itu. “Russ itu artinya dayung perahu yang biasa digunakan oleh suku-bangsa Viking,” tegasnya.
Cerita ini menjadi menarik untuk dikembangkan. Sebab, setiap suku-bangsa memiliki masa-masa prasejarah, masa-masa mitologi. Demikian pula, suku-bangsa Viking atau Swedia memiliki latar belakang yang murung karena kurangnya pencahayaan matahari. Namun, itu menjadi antusiasme. Mereka keluar dari kemurungan itu dengan menjadi suku-bangsa penjelajah, mengarungi lautan, dan bergaul dengan suku-suku-bangsa lain. Suku-bangsa Swedia mulai menjadi bidikan dan perhatian masyarakat dunia ketika telah melalui jalan yang panjang. Masuk dalam cerita-cerita yang mendunia di atas kertas-kertas komik hingga film-film. “Fiksi entah Hollywood atau apa. Tapi, ini sesuatu yang mulai diangkat dari luar dan dalam,” tulis Stefan via “WhatsApp”.
“Swedia mau bikin perusahaan dagang India sudah di masa 1620an. Tapi putuskan tidak. ‘Kita punya India di Swedia Utara’. Pusat Stockholm eksploitasi wilayah bagian utara Swedia, sumber alam segala, penduduk sedikit. Sampai hari ini, walaupun tidak seperti dulu dan mereka kurang lebih makmur seperti yang lain. Tapi sifat kemurungan mereka hari ini bukan karena kurang matahari semata.”
Malam itu diguyur hujan deras. Maghrib, Stefan berbuka puasa dan menunaikan sholat setelah menghabiskan segelas es tape kesukaannya. Ada obrolan panjang tentang banyak hal dan program-program penulisan dan pelatihan pascapandemi ini usai lebaran nanti.
Sebuah bis jurusan Depok berhenti di depan Stefan. Kerlap kerlip sorot kendaraan menabrak tatapan mata. Tanah basah dan rendah. Dua orang yang bertugas mengarahkan laju kendaraan sudah kembali sibuk di tengah jalan. Stefan meninggalkan Cirebon melalui pintu gerbang tol Ciperna. Menghilang, duduk di antara jejeran penumpang.
Sebagai penjelajah dan petualang, suku-bangsa Swedia berinteraksi dengan dunia luar. Jalur perdagangan mulai dibuka seperti halnya VOC, kongsi dagang suku-bangsa Belanda yang banyak mengeruk keuntungan dari hampir separuh dunia. “Swedia bikin perusahaan SOIK, India Timur, sekitar tahun 1728. Dagang ke Cina dan singgah ke Batavia.”
Namun, kehadiran VOC melalui politik monopolinya berhasil mempersenjatai kapal-kapal dagang dan memiliki bala tentara sendiri yang berhak menentukan perang atau tidak terhadap penduduk lokal suatu suku-bangsa yang mereka datangi.
VOC terus bersaing dengan suku-suku-bangsa lain meskipun tidak jarang suka mengambil kesempatan ketika terjadi perang antara Spanyol dan Portugal di Maluku misalnya. Bisa dikatakan: “Perusahaan seperti VOC, paling tidak transparan. Buku ekonominya dibakar,” lanjut Stefan.
Ketidaktransparanan VOC diantaranya adalah mengambil alih penuh terhadap Ericsson. “Mereka yang memilki Ericsson mulai di SOIK. Sangat berpengaruh di China dan di dunia lewat Telecom. Kuasai Telecom dan paten-patennya. Dan juga listrik lewat ABB,” pungkas Stefan.
Petualangan ritual di bulan Ramadhan tahun 2022 ini tentu menjadi inspirasi dan akan sangat menarik apabila Stefan berkenan menulis ke dalam bentuk sebuah buku yang lengkap tentang suku-bangsa Viking. Terutama, bagi kalangan yang benar-benar ingin mengetahui hubungan budaya dan Islam melalui pintu-pintu sejarah suku-suku-bangsa di dunia, terutama suku-bangsa Viking.
Stefan, peneliti independen itu, menyukai dan memfokuskan diri pada kerja-kerja folklor, karya-karya seni, buah tangan, terutama tenun ikat, keranjang anyam, serta menerjemahkan cerita-cerita fiksi Indonesia untuk penerbit-penerbit Swedia.
Stefan dapat dikunjungi atau dihubungi melalui emailnya; https://cawalunda.org.
[email protected]
Cirebon, 27 April 2022.