Perang atas nama agama (Reconquista) sering dijadikan rujukan sejarawan Indonesia sebagai awal penjajahan suku-suku-bangsa Eropa di Asia, khususnya Nusantara. Padahal, jika dilihat dari kronologi sejarah, perang antar suku-bangsa sudah terjadi jauh sebelum agama Islam lahir. Hanya saja, pembelaan Islam terhadap pentingnya tanah air sering dijadikan alasan untuk memberi stigma; kalau Islam adalah agama perang.
Suku-bangsa Yahudi misalnya, dikisahkan sebagai suku-bangsa yang tidak memiliki tanah air sehingga diajak hijrah oleh Nabi Musa As ke tanah harapan, Yerusalem. Demikian pula, suku-bangsa Roma mendirikan negara militer untuk menduduki suatu wilayah yang lemah. Mereka menghalalkan praktik-praktik perbudakan yang umum pada masa itu.
Peradaban Fenisia
Perang Salib diawali dari penindasan suku-bangsa Roma terhadap murid-murid Yesus. Bahkan, Yesus sendiri. Menurut Injil, Caiaphas atau Kayafas adalah imam besar Yahudi yang menyerahkan Yesus ke Roma untuk disalibkan. Adapun Rasulullah Saw secara tersirat lebih mendukung Roma Timur (Bizantium) daripada Persia bukan semata karena suratnya dirobek-robek oleh Kaisar Kosru (Koresh), namun lebih pada sikap perlindungan Rasulullah Saw terhadap kaum Nasrani (Ahlul Kitab) yang berada di Roma. Dengan demikian, ketidakrelaan kaum Yahudi dan Nasrani sebagaimana disebutkan dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 120 yang berbunyi:
وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka.
Dapat diartikan sebagai ketidakrelaan bersifat materialistik, terutama dalam hal tanah air sebagaimana berlangsung hingga sekarang. Karena, klaim-klaim kebenaran agama secara historis sudah dapat dikompromikan, meskipun masih sulit diterima dalam nalar awam.
Dan, konflik yang ditimbulkan oleh kalangan Yahudi terhadap kalangan Nasrani yang berujung pada penyaliban Yesus pada dasarnya adalah konflik di antara kalangan Nasrani dan kalangan Yahudi yang mungkin juga didasari dari konflik suku-bangsa. Pada intinya, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Islam. Dalam hal ini, umat Islam hanya sebatas penonton saja. Kalaupun sering dilibatkan dalam konflik keduanya, maka ada oknum-oknum suku-bangsa tertentu yang tidak puas dan mencari perlindungan dengan atas nama Islam. Terutama, teologi yang dikeras-keraskan untuk memaknai ayat-ayat Al Quran secara “letterleijke”.
Asal Usul Suku-bangsa Fenisia
Perdefinitif, Kartago Kuno adalah kebudayaan suku-bangsa Semit yang didirikan pada 814 sebelum Masehi dan berpusat di negarakota Kartago, Afrika Utara (Teluk Tunis).
Suku-bangsa Fenisia berasal dari wilayah Tirus (Lebanon sekarang), dikenal sebagai pelaut ulung, ahli perkayuan dan pandai besi. Ada dua pendapat mengenai suku-bangsa Fenisia ini. Pertama, mereka berasal dari wilayah Bahrain (sekarang) sebagai penyumbang armada laut kepada Nabi Sulaiman As. Pendapat kedua, mereka memang penduduk asli Libanon sebagai turunan dari Kanaan bin Ham, putera Nabi Nuh As. Beribu-ribu tahun (3000 tahun sebelum Masehi) mereka menguasai Laut Kaspia dan Laut Tengah (Mediterania), mulai dari Anatolia (Yunani), Suriah, Libanon, Mesir, hingga tanduk Afrika. Menurut sebagian riwayat, suku-bangsa Wajo (Bajou) di Sulawesi adalah bagian dari turunan suku-bangsa Fenisia ini.
Nama Fenisia banyak tertulis pada naskah-naskah kuno sebagaimana Herodotus dari Yunani dan Al Kitab. Mereka memang suku-bangsa pelaut.
Negarakota Tunis.
Legenda menyebutkan kedatangan suku-bangsa Fenisia ke Teluk Tunis diawali oleh Ratu Dido (atau biasa juga disebut Elisa) bangsawan Fenisia yang berkuasa di Fez, Maroko. Dia melarikan diri ketika suaminya mati terbunuh. Setelah mendapat tempat di teluk Tunis, Ratu Dido mulai membangunnya menjadi sebuah kota pelabuhan.
Sejak Tirus diserbu oleh suku-bangsa Akkadia (Asyur), suku-bangsa Fenisia tercerai berai di berbagai negeri. Terlebih setelah Yunani memulai ekspansi dan melakukan ekspedisi militer di bawah pengaruh Alexander the Great ke berbagai belahan dunia, terutama Tirus dan Mesir.
Sebagian besar penduduk Fenisia mencari perlindungan di Kartago. Perlahan tapi pasti, suku-bangsa tersebut turut menyokong terbentuknya sistem pemerintahan dan peningkatan pada pertanian, peternakan, industri, dan perdagangan.
Orang-orang Kartago pada awalnya mempercayai agama nenek moyang mereka yang diwarisi dari Kanaan dengan dewa utama Baal Hammon dan dewi Tanit. Kepercayaan ini identik dengan Astratus, Yunani. Satu ritual yang terkenal dari kepercayaan mereka adalah pengorbanan anak-anak.
Orang-orang Kartago percaya dengan mengorbankan seorang anak, maka dapat menenangkan hati mereka juga menenangkan Baal Hammon. Dari salah satu pertempuran kota, penduduk Kartago pernah mengorbankan lebih dari 200 orang anak dari kalangan keluarga bangsawan.
Sistem kekuatan militer yang terbangun dengan baik menjadikan negarakota Kartago meluaskan pengaruhnya di Afrika Utara, semenanjung Iberia (Andalusia), hingga Italia. Mereka menguasai pulau Sisilia yang kemudian menjadi puncak perselisihan dengan Kekaisaran Roma yang berlarut-larut selama 20 abad sejak sebelum Masehi.
Persekutuan suku-bangsa Fenisia dan Numidia Barber (202 SM – 46 SM) menjadi kekuatan penuh dalam menentang Kekaisaran Roma, serta dukungan dari suku-suku-bangsa Sparta, Yunani, yang pernah menghancurkan Tirus. Hannibal, tokoh lokal dari suku-bangsa Barber sempat menggoyahkan pertahanan Kekaisaran Roma, meskipun tidak berhasil merebut kota Roma. Setelah terjadi perang selama tiga periodik, Kartago akhirnya berhasil dihancurkan oleh Kekaisaran Roma.
Sisilia sebagai Pangkal Pertikaian
Sebagai pusat perdagangan dan didukung oleh pengamanan militer, Kartago berkembang sangat pesat sehingga menimbulkan dualisme kebijakan. Pertama, kelompok kepala suku dan tuan tanah menghendaki agar Kartago mengembangkan pertanian dan industri ke daerah selatan. Namun, kelompok kedua yang terdiri dari parasenator, kalangan militer, dan pedagang-pedagang kaya menghendaki agar Kartago melakukan ekspansi ke luar, terutama pulau Sisilia.
Menginjak abad ke-3 sebelum Masehi, Kartago berhasil menguasai Spanyol Selatan, Afrika Utara, Sisilia, Sardinia, dan Korsika. Wilayah tersebut merupakan pusat komersial dan budaya. Tentu saja, hal ini mengurangi pengaruh dan wibawa Kekaisaran Romawi di Mediterania.
Situasi tersebut menjadi sangat buruk sehingga menyebabkan perang pada 264 sebelum Masehi. Pada awalnya, Romawi banyak mengalami kekalahan-kekalahan, karena Kartago unggul di bidang armada militer kelautan. Namun, Roma terus belajar dan melakukan perbaikan-perbaikan di sektor kelautan ini.
Dan, sejak Perang Punisia Pertama hingga Ketiga terjadi, Roma berhasil menduduki Sisilia dan secara bertahap mampu mengalihkan dan menggeser pertempuran ke wilayah Afrika. Dua kali, negarakota Kartago dihancurkan. Hingga akhirnya, penduduknya yang heterogen, terdiri dari berbagai suku-bangsa, dijadikan budak dan tawanan.
Dengan demikian, tidak ada alasan perang agama pernah terjadi karena perbedaan teologis. Yang terjadi adalah perebutan wilayah dan kekuasaan yang menguntungkan dari segi materi. Dan, Islam mengajarkan tentang aksi bela negara (tanah air) dari setiap ambisi manusia untuk menguasai wilayah yang bukan hak milik mereka.