Loyalitas seorang santri kepada gurunya, kiainya, di pesantren sudah tertuang di dalam kitab tipis Al Ta’lim Al Muta’allim. Adab dan tatacara menuntut ilmu tuntas dibahas di dalam kitab tersebut. Bahkan, secara khusus, Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari menulis sebuah risalah yang diberi judul Adab Al Ta’lim wa Al Muta’allim dengan slogan yang menjadi hastag “Adab lebih dahulu daripada ilmu”. Tapi, lain lubuk lain ikannya dalam matur kiai. Dalam cara matur kiai atau mengutarakan maksud kepada kiai. Sebab, setiap daerah memiliki gaya dan karakter sendiri sendiri. Ada yang berjarak secara kaku, ada pula yang terbuka dengan penuh keakraban. Yang jelas, harus ada dalam koridor batas yang telah menjadi kesepakatan umum.
Adab Lebih Dahulu daripada Ilmu
“Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”; ungkapan senada tentang adab dan tatakrama tercermin dengan baik melalui bahasa. Bahasa menjadi cermin terbaik dalam menilai budi pekerti dan kepribadian seseorang. Tidak saja di pulau Jawa yang mengenal tradisi Pandawa dengan tutur kata dan bahasa yang bertingkat, di luar Jawa pun memiliki tutur kata dengan tentunya gestur yang berbeda. Gestur atau bahasa tubuh menjadi mimik cerminan juga bagi kepribadian seseorang. Oleh karena itu, adab menjadi sangat penting dalam materi kehidupan di pesantren pesantren di Indonesia, baik di Jawa maupun luar Jawa. Bahkan, materi dan praktik adab ini tidak berlangsung dalam waktu sekejap saja, melainkan terus menerus hingga wafat.
Dikisahkan, seorang Gus Miek (KH Hamim Tohari Djazuli, 1940-1993) yang dikenal sebagai sosok “wali nyeleneh” memiliki adab yang tinggi terhadap wali wali yang lain, baik yang masih sugeng (hidup) maupun yang sudah wafat. Tersebutlah dalam cerita lisan, setiap Gus Miek sowan (datang menghadap) atau berziarah ke suatu makam, ia akan bertindak sangat hormat. Setiap dia berziarah ke makam Mbah Sholeh Darat Semarang misalnya jauh jauh dari lokasi (gerbang masuk), ia sudah mlaku ndhodho’, ngesot, atau mbrangkang. Hal ini cerminan sebagai penghormatan kepada Mbah Sholeh Darat sebagai seorang wali agung, bukan karena keajaiban karomahnya, melainkan karena karomah (kemuliaan) yang dipancarkan Allah kepada hamba mulianya itu.
Apa yang Perlu Diperhatikan
Tanpa disadari, orang orang mulia terdahulu memiliki kerendahan hati (bukan minder) terhadap orang lain, baik karena kemuliaan yang diberikan Allah kepadanya, lebih dari itu karena memuliakan anak cucu Adam (Bani Adam). Betapapun buruknya di mata manusia. Hal ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw di dalam sebuah hadis, manakala ada suatu rombongan yang sedang mengusung mayat seorang Yahudi. Rasulullah saw kemudian berdiri sebagai penghormatan, karena memuliakan manusia sebagai anak cucu Adam, meskipun berbeda keyakinan. Oleh karena itu, nilai kemuliaan anak cucu Adam menjadi sangat penting dalam Islam yang didasarkan pada hifdh al nafs, memelihara jiwa.
Kalangan sufi secara lebih spesifik memandang, setiap benda dan realitas di muka bumi adalah sebagai “Manifestasi Allah”. Semua harus dihormati. Masih teringat dalam kisah Sunan Bonang yang menangis ketika tongkatnya dirampas oleh Brandal Lokajaya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang menangis karena menyesali, bukan karena tongkat satu satunya dirampas, melainkan karena ada rumput yang tercerabut ketika terjadi peristiwa perebutan tongkat tersebut. Itu baru rumput yang sering tak dianggap bernilai oleh manusia kebanyakan, apalagi “nyawa manusia”.
Sebetulnya, tidak ada adab cara matur kiai yang baku bagi setiap murid atau santri kepada guru atau kiainya. Semua memiliki konteks zaman dan tempat adab tersebut diterapkan. Meskipun, dalam pandangan selanjutnya muncul asumsi; jika guru adalah raja yang harus dituruti segala perintahnya. Karena, guru (digugu lan ditiru, didengar dan diikuti) dianggap telah mewakili atau memanifestasi diri Allah ke dalam jiwa dan raganya. Setiap saat selalu konek kepada Allah Taala.
Tapi, dalam pola pendidikan modern, tindakan penghormatan seorang murid terhadap gurunya atau anak dan keluarganya dianggap pendidikan “feodal”. pendidikan raja raja zaman dahulu. Padahal, bukan. Sistem feodal muncul manakala kerajaan di Nusantara sudah mengenal hukum hukum Eropa melalui suku-bangsa Portugis, Inggris, bahkan Belana. Harus dibedakan antara kerajaan zaman sebelum ada campur tangan Belanda dan kerajaan kerajaan pra-Belanda yang sangat menghormati pesantren.
Di dalam adab pesantren, prasangka baik selalu dikedepankan. Baik buruk seorang guru senantiasa dipandang baik dan dijawab dengan tutur bahasa yang baik. Dengan demikian, seorang murid atau santri akan tetap terjaga dari prasangka prasangka buruk. Karena, berprasangka buruk adalah awal dari hilangnya adab.
Demikian, cara matur kiai yang akan menjadi tema penting di dalam menata budaya dengan lebih baik. Menang kalah bukanlah sebuah hasil, melainkan di dalam cara menyajikannya yang lebih penting.