Masalah kebudayaan seperti tak ada ujung karena kehidupan manusia di muka bumi belum juga usai. Budaya ada ketika manusia ada.
Budaya dalam arti perkembangan manusia dari satu entitas ke entitas lain, tanpa menghilangkan entitas pertama (akulturasi) serta entitas satu lebih dominan daripada entitas yang lain (asimilasi) terus berjalan seiring zaman dan perubahan yang datang.
Perubahan budaya dapat terus berlangsung selama muncul entitas yang lain. Misal, pada masa lalu, unggah ungguh bisa diartikan dengan membungkukkan badan kepada orang yang lebih dihormati, namun berbeda ketika zaman tidak lagi mengharuskan untuk membungkukkan badan.
Kristalisasi Ideologi
Pada dasarnya, ideologi terbentuk secara alami untuk menciptakan keteraturan keteraturan hukum dan adat istiadat. Namun, pada proses yang lebih massif dan terorganisir, ideologi diajarkan secara terus menerus di dalam disiplin. Di dalam disiplin ini kemudian muncul pemaksaan pemaksaan yang menyimpang, pejoratif. Penyimpangan ideologi dapat terjadi manakala praktik praktik ideologi berlaku dalam organisasi tertentu, baik birokrasi, militer, maupun masyarakat. Penyimpangan ideologi ini berlaku manakala cita cita awal untuk menjunjung tinggi ide ide universal seperti keselamatan jiwa dan keyakinan, keamanan, kesejahteraan ekonomi, serta kemakmuran masyarakat tidak lagi sesuai. Kesesuaian ideologi tersebut dapat diukur melalui kenyamanan kenyamanan pelaku dan anggota ideologi tersebut. Dan, kesesuaian biasanya tertulis dan ujaran ujaran secara turun temurun. Misal, larangan merusak ekosistem sungai yang tertulis di dalam sebuah prasasti atau yang sudah tertulis di dalam lembaran lembaran kertas dan buku. Apabila larangan tersebut tidak lagi sesuai dengan norma atau aturan aturan yang tertulis tersebut, maka ideologi bisa dianggap menyimpang, meskipun dengan tujuan tujuan yang baik.
Adat dan Agama
Salah satu syarat eksistensi sebuah agama adalah kitab suci. Kitab yang dijadikan sebagai pedoman umum bagi umat pemeluk agama. Norma norma yang berlaku umum dan tidak tercatat atau tertulis di dalam kitab suci hanya bisa dikatakan sebagai adat istiadat.
Dari perbedaan antara yang tertulis dan tidak tertulis tersebut, maka dapat dipahami antara keduanya. Jika muncul pertanyaan, “Apakah adat istiadat yang tertulis tidak bisa dikatakan sebagai agama?” Secara sederhana, biasanya hanya dipahami sebagai tradisi. Tradisi adalah norma norma masyarakat yang berlaku umum secara turun temurun.
Dengan demikian, dapat diperbandingkan antara adat dan agama.
Baik adat istiadat maupun agama memiliki makna makna pesan yang bersifat universal. Dikatakan universal karena dapat memiliki kesamaan nilai seperti menjunjung tinggi nilai nilai kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, kemanusiaan, keadilan, dan lain sebagainya. Meskipun, pada praktik praktik keduanya, setiap masyarakat memiliki adat masing masing dan penghayatan agama masing masing yang terimplementasikan ke dalam tradisi.
Ideologi yang sudah terorganisir di dalam suatu lingkungan masyarakat akan dikatakan langgeng, lestari, atau yang dihidupkan (uri uri). Namun, friksi friksi yang muncul kemudian karena faktor eksternal semisal ideologi yang dibawa oleh suku-bangsa lain, baik tertulis maupun tidak, telah menimbulkan resistensi yang memicu pertikaian dan konflik. Tradisi yang sudah berlangsung lama di dalam lingkungan masyarakat Jawa misalnya sehingga membentuk suatu pola dan sistem budaya sendiri dalam wilayah kerajaan tertentu, kemudian secara sadar atau tidak telah muncul perbedaan pandangan yang menjurus kepada konflik. Masyarakat Jawa yang semula tidak memiliki klasifikasi dan polarisasi warna warna kelompok kemudian dipecah menjadi kelompok santri, kelompok abangan, dan kelompok priyayi. Padahal, pada awalnya, tidak ada klasifikasi demikian. Faktor eksternal lah yang menyebabkan kemunculan polarisasi tersebut.
Perbedaan pandangan yang disebabkan oleh polarisasi, tipologi, atau klasifikasi tersebut mulai tampak cair seperti sediakala manakala muncul kehidupan baru berupa Indonesia. Manusia Jawa yang terbelah oleh polarisasi tersebut mulai cair dan membaur sama sama ke dalam kehidupan manusia Indonesia. Penghayatan penghayatan baru terhadap adat dan agama pun mengalami proses akulturasi dan asimilasi.
Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan jika ada peluang untuk memberi ruang rekonsiliasi melalui dialog dan interaksi sosial.
Tengah Tani, 3/2/24.