Lapisan lapisan instrumen politik NU cukup tebal. Mulai dari lapisan pertama sebagai budaya yang telah, sedang, dan terus hidup di alam sanubari bangsa Indonesia, hingga lapisan dasar pada akar kehidupan sosial masyarakat.
Lapisan pertama sebelum dirumuskan ke ke dalam satu dokumentasi Qanun Asasi NU 1926 telah menjadi rujukan sebagaimana sejarah walisangha, masyarakat bermazhab, hingga tradisi yang teratur. Kehidupan bermazhab telah menjadi pedoman dan pegangan bagi penegakan hukum pada suatu kerajaan di Nusantara. Begitu pula, aspek kesejarahan yang melekat di dalam kepribadian masyarakat yang tercermin di dalam perilaku dan tradisi. Dari sini, peran peran ulama, kadi, lebai, bahkan seorang raja atau sultan telah membangun satu sistem administrasi, meskipun dalam skala yang terbatas. Tidak serumit di dalam aturan aturan administratif pemerintah kolonial.
Pada masa kolonial, tata kehidupan administrasi dan hukum sebenarnya tidak melibatkan kehidupan masyarakat pribumi. Dalam arti, hukum kolonial berlaku bagi kalangan mereka sendiri dan pihak pihak yang melakukan transaksi bisnis dan administrasi bersama mereka. Hukum Islam, terutama, memiliki peranan dan fungsi sendiri yang diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat muslim. Tidak ada campur tangan dari pemerintah kolonial kecuali yang menyangkut kepentingan mereka untuk menduduki suatu wilayah.
NU secara struktural mulai diakui secara administratif oleh pemerintah kolonial hingga mendapat posisi dan kewenangan turut mengatur masyarakat muslim yang berada di wilayah pemerintahan kolonial. Wilayah wilayah yang masih merdeka sebagaimana di Yogyakarta, NU tidak bersentuhan langsung kepada pemerintah kolonial, kecuali kepada pihak kesultanan. Barulah peranan NU mendapat tempat ketika wilayah wilayah kerajaan yang merdeka itu mengakui akan kehadiran negara Republik Indonesia.
Pondok pesantren sebagai wilayah “merdeka” karena berangkat dari sistem perdikan yang memang memiliki hak otonomi adalah elemen terpenting. Sehingga, baik secara budaya maupun struktural-administratif, memang memiliki hak istimewa yang tidak dapat diintervensi. Posisi pesantren yang merdeka dan setara dengan kerajaan yang masih merdeka pada masanya karena memiliki hak otonomi khusus di muka administrasi pemerintah kolonial sering mewarnai kesalahan paham sejarah. Di satu sisi, Pangeran Diponegoro misalnya dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah kolonial, namun Pangeran Diponegoro merasa memiliki hak merdeka karena mewakili pesantren pada sisi yang lain.
Demikian, instrumen instrumen politik NU tidak bisa seragam sebagaimana organisasi organisasi lain, karena berangkat dari latar belakang sejarah yang berbeda dan khusus. Satu instrumen politik sebagaimana pesantren atau komunitas masyarakat yang beramaliah NU tidak bisa serta merta sama dengan instrumen politik dengan struktur organisasi. Apalagi organisasi sudah menyatakan diri untuk berpegang pada Khittah NU 1926 yang secara praktis membebaskan pilihan dan mekanisme mekanismenya. Dengan catatan, tetap menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan yang termuat di dalam “Maqashid Al Syari’ah”.