Entah kenapa, setiap kali bertemu orang, saya senang memakai standar para orang bijak. Gus Dur misalnya, menyebutkan, bahwa orang pandai biasanya suka humor dan lelucon. Tentu bukan sampai seperti pelawak tentunya.
Kita lihat saja fenomena dakwah Gus Iqdam dan Kyai Anwar Zahid yang masih eksis. Atau juga beberapa ulama yang memakai metode dakwah yang serupa.
Nah, asyiknya adalah, jika teori ini dibalik, maka yang kita temukan adalah sosok orang yang tidak suka humor. Sedikit-sedikit “gak ilok”(kata orang Jawa), atau jaga image dalam bergaul, justru malah menyimpan banyak misteri dalam dirinya.
Memang sebagian ulama ada yang memakai cara bergaul demikian. Serius. Ra Ono guyune blas Yo Ono. Tapi koq menurut saya pasti jumlahnya sangat sedikit atau bahkan jarang. Artinya, gaya bergaul seperti ini, tidak semua orang bisa begini. Yang umum ya, guyon pada waktunya, dan serius pada waktu yg lain pula.
Temuan saya, mereka yang terlampau serius, justru mereka menyembunyikan sesuatu di dalam pribadinya. Paling mudah yang sering saya temukan adalah, mereka memiliki bibit kesombongan. Saya ini gak guyon, gak kayak kamu, misalnya. Saya alim. Saya menjaga akhlak, dan sebagainya. Walaupun bisa saja, pada beberapa sudut, hal ini terasa subyektif sekali.
Lihat saja Rasulullah, beliau dikenang sebagai pribadi yg selalu tersenyum.
Setiap orang yg memandang tidak sungkan kepada beliau. Tentu teori sungkan tidak dapat diperbandingkan dengan sungkannya santri kepada kyainya, tidak, ini berbeda konteksnya. Ini hanya pada cara bergaul saja.
Ketika bertemu seseorang, dan kemudian dia tidak mengumbar senyum sedikitpun, maka bisa dipastikan, orang yang bertemu dengannya pasti memberi label kepadanya, ora grapyak, alias tidak pandai bergaul. Memang kadar “grapyak” ini, bisa berbeda-beda pada setiap orang.
Saya pernah mendapat cerita, di sebuah daerah yg terkenal dengan banyak pesantren dan tokoh agamanya, ada seorang tokoh yang kesehariannya alim sekali semasa hidupnya. Namun ternyata, setelah dia meninggal, ada tiga wanita yang datang ke rumahnya, dan mengaku sebagai istrinya. Ya memang seperti ini kasuistik. Tidak bisa digebyah Uyah, tapi paling tidak, orang yang tidak memiliki selera humor, adalah orang yang merasa urusan hidupnya, harus disembunyikan.
Lha, tapi kan anda juga menganggap orang yg “diam” itu juga lebih rendah to?
Ya memang bisa saja begitu. Tapi ya Ndak begitu juga.
Begini, Rasulullah iku seneng guyon. Bahkan sampai ada bukunya yang membahas khusus. Gus Dur, konon bisa menaklukkan pembicaraan dengan para pemimpin negara, pun juga dengan humor. Takutnya, diem dan berwibawa, tapi tiba-tiba anaknya jadi cawapres, khan takut juga. Ups… Keceplosan. Hehehe.
Diam dan serius ada tempatnya. Begitu juga humor. Saya mendapati saudara saya yang hidupnya mengabdi kepada tokoh agama, malah senang melaknat dan memusuhi keluarganya yang tidak sejalan dengan pemahamannya. Saya pernah ikut pengajiannya sekali. Dan isinya hanyalah doktrin-doktrin liar yang hampir semuanya menebar kebencian. Hanya sekitar lima persen saja keilmuannya. Akhirnya, saudara saya ini menjadi penganut agama yang jumud, kaku, dan tidak mau bergaul dengan orang lain. Padahal dulu, dia masih senang tersenyum lebar ketika duduk dengan saya.
Maka, berhati-hatilah dalam mencari guru agama. Apalagi tentang Rasulullah. Jangan sampai kita hanya memahami Rasulullah hanya sebatas marah dan kebencian beliau saja. Tapi lupa, beliau juga adalah sosok yang penyayang kepada setiap lapisan masyarakat. Tidak pilih-pilih dalam bergaul. Sosok sekeras sahabat Umar dan selembut sahabat Usman, di mata beliau sama.
Jangan hidup jika hanya mampu membuat luka kepada sesama. Namun hiduplah dengan bermanfaat, hingga ketika kau tiada, semua orang berduka karena kehilangan sosok yang begitu mengena dalam diri mereka.
Kebaikan itu abadi. Bisa diceritakan. Secara turun temurun.
Maka tulislah namamu dalam keabadian kebaikan. Bukan karena rusaknya kebaikan karena salah jalan.
Surabaya, 03 Desember 2023.
Hujan reda.
Tidak banjir pula.
Alhamdulillah.