Tarekat adalah cara orang-orang Bima pertama memeluk Islam. Sebagaimana orang-orang Nusantara pada umumnya. Menyukai tutur kata nan indah dan perilaku yang beradab. Mereka memiliki adat tersendiri sebelum mengenal ajaran Islam, tapi terjadi hubungan timbal balik antara adat dan ajaran Islam. Sehingga menjadi kokoh dan merupa menjadi manusia yang sempurna.
Dalam naskah-naskah Jawa, Bima sering disebut sebagai bumi yang potensial. Hubungan dagang antara orang-orang Jawa dan orang-orang Bima telah menyebabkan bahasa di Bima berkembang dengan pesat. Tidak sedikit bahasa Jawa yang terserap ke dalam bahasa Bima.
Sekitar akhir abad ke-17 Masehi, tarekat mulai dikenal di Dana Mbojo (Bima). Melalui tarekat, Islam menyatu dengan tradisi-tradisi agama seperti pencaksilat, tari-tarian yang penuh filosofi, dan upacara-upacara rutin keagamaan. Sehingga Islam dapat mudah menjadi agama rakyat dan istana.
Peninggalan-peninggalan ritus tarekat di Bima dapat dijumpai dalam bentuk pembacaan Al Barzanji, Ratib, Maulid, hingga kitab-kitab tasawuf yang jadi pegangan di istana. Tarekat sebagai ajaran luhur kemudian dikenal dengan sebutan Ngaji Tua atau Fitua, karena harus dijalankan secara khusus.
Ajaran khusus tarekat ini mendasarkan diri pada Tauhid. Maka, salah jika ada yang mengatakan tarekat telah mengajarkan kesesatan. Di dalam tarekat, yang disampaikan oleh Datu ri Tiro, ulama penyebar Islam di Bima, hakikat mengenal Allah Taala diamalkan.
Istilah Fitua di Bima diambil dari kata fiki (pikiran) dan Tua (tua, sepuh). Fiki berarti juga fiqh atau fikih yang berarti hukum (syariat) Islam yang dijalankan oleh umat Islam sehari-hari.

Sementara kata Tua berarti kebajikan, kematangan, dan kebijaksanaan sebagai manusia yang arif. Fitua bisa pula diambil dari kata fatwa atau petuah dalam bahasa Melayu, yang berarti kata-kata bijak dan pesan orang-orang tua yang disampaikan pada upacara-upacara adat seperti pernikahan, sunat, dan lain-lain. Dengan demikian, Fitua berarti pemikiran bijak untuk dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, baik di istana maupun di masyarakat.
Namun sayang, sarjana-sarjana didikan sekolah yang sekuler sering memisahkan antara agama dan tradisi masyarakat sehingga tarekat sering dicap sesat dan keluar dari Islam. Padahal, mereka belajar filsafat ilmupun mengenal arti hakikat (ontologi).
Hubungan perdagangan antara masyarakat Bima dan suku-bangsa Bugis di Sulawesi Selatan telah meningkatkan pengetahuan agama. Kedatangan murid-murid Syekh Jalaluddin Al Aidid dari Makassar sekira tahun 1670 pasca Perang Gowa membuat tarekat semakin berkembang. Kedatangan kaum Melayu ini menyebarkan ajaran tarekat Khalwatiyah oleh Dato Maharajalele sehingga Sultan Bima Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682) merancang sebuah ritus Maulid Nabi yang dikenal sebagai hari raya ketiga suku-bangsa Bima dengan sebutan Maulu Nabi Hanta Ka’pua (Sirih Puan). Demikian, penghormatan besar masyarakat Bima terhadap Nabi Muhammad saw…