Mungkin, ada hikmah yang mendalam ketika Hadratussyekh KHM Cholil Bangkalan menunjuk Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari sebagai pimpinan organisasi. Harapannya, Mbah Hasyim adalah sosok yang paling potensial di antara santri-santri Mbah Cholil yang akan membawa NU (Nahdlatul Ulama) menjadi organisasi yang besar. Dan, “isyarah” itu tidak meleset.
Tidak menyambut dengan serta, kemudian menguatkan hati Mbah Hasyim atas kiriman tongkat dan tasbih dari gurunya adalah gambaran sikap warga NU yang senantiasa berhati-hati (ikhtiath) di dalam mengambil setiap keputusan. Ikhtiath ini yang sering tidak bisa dimengerti oleh banyak kalangan sebagai fondasi nalar praktis NU yang konsisten bermazhab. Bermazhab dalam pengertian ini adalah kehati-hatian, bukan sebuah sikap oportunistik.
Secara kultural, organisasi NU tumbuh dari pesantren-pesantren yang dari segi nalar sebagaimana banyak penilaian kalangan dari luar adalah bentuk dari primordialisme-tradisional. Organ yang didirikan dari arah emosional dan sentimental masing-masing pesantren. Emosi ini dalam tensimeter tertentu dapat mudah terbakar dan digerakkan sebagai sebuah organ motorik. Secara gamblang, Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) menyebutkan: NU adalah pesantren besar, sementara pesantren adalah NU kecil.
Menyadari hal ini, kira-kira, Mbah Hasyim menanggung beban yang tidak ringan untuk mengakomodir seluruh kepentingan emosional dari setiap pesantren yang ada di pulau Jawa, apalagi hingga ke luar Jawa. Sebagaimana setiap pesantren memiliki figur sentral kharismatik yang menjadi panutan pada komunitas masyarakat masing-masing. Satu orang kyai yang memiliki kharisma di suatu daerah belum tentu akan berpengaruh pula pada daerah yang lain. Di sini, membangun organisasi NU tidak bisa melepaskan aspek yang paling krusial dari aspek emosional tersebut.
Setelah menerima tongkat dan tasbih secara simbolik, Mbah Hasyim tentu berpikir keras untuk mewujudkan cita-cita gurunya. Satu fondasi yang kemudian menjadi jalan bersama bagi warga Nahdliyin dalam perjalanannya adalah rasionalitas. Rasionalitas dimaksud adalah sebuah nalar berpijak secara bersama dengan mengabaikan sentimen-sentimen pribadi, kelompok, pesantren, dan golongan berupa “Qanun Asasi NU”. Meskipun awalnya berangkat dari sebuah gerakan emosional, Qanun Asasi merupakan landasan berpikir dari segi isi mengandung realitas bermazhab yang sudah hidup di masyarakat secara historis sekaligus rasional dengan mengembalikan persoalan kepada sumber tertinggi umat Islam, al-Qur’an dan hadis. Dan, untuk memahami itu semua membutuhkan pikiran rasional sekaligus reflektif. Reflektif dalam pengertian memandang sejarah dan realitas sekaligus pula menyandarkan semua pokok persoalan kepada yang Maha Kuasa. Pokok pada refleksi dari situasi yang selalu menghendaki perubahan-perubahan dan agenda-agenda yang mashlahat.
Penulis: Goesd.
Editor: Goesd.