Catatan-2
Sejak masa Rasulullah Saw, pendidikan Al Quran sudah menjadi fondasi yang utama di dalam membangun konstruksi sosial dan menggapai kesuksesan. Bisa dikatakan, seorang pribadi muslim yang baik bacaan Al Qurannya, maka baik pula sholatnya. Bila baik sholatnya, maka baik pula keutamaan di dalam mencapai kesuksesan. Oleh karena itu, sejak dini, seorang pribadi muslim dianjurkan untuk belajar Al Quran dan memperbaiki bacaannya terlebih dahulu sebelum memasuki relung relung dan tahapan tahapan realitas kehidupan.
Konsep Mustafilah Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar
K.H. Abdullah Afif, M.A., selaku mentor Metode Al Murattalu sekaligus salah satu murid utama Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar (selanjutnya ditulis Hadratussyekh), menyampaikan pengantar pada materi tentang sosok Hadratussyekh dan konsep mustafilahnya pada acara “Training of Trainer Qiraah Muwahhadah Metode Al Murottalu” yang berlangsung pada tanggal 7-9 Februari 2024 di Masjid Al Jabbar, Plumbon, Cirebon. Acara tersebut diselenggarakan atas kerjasama Kualita Pendidikan Al Qur’an, sebuah lembaga di bawah Ikatan Alumni Madrasatul Qur’an (IAMQ) Tebuireng, dan IAMQ Cabang Cinderakusuma (membawahi wilayah Cirebon, Indramayu, Kuningan, Sumedang, dan Majalengka) yang dihadiri pula oleh Ketua Umum IAMQ, K.H. Mabrur Syaibani, S.Ag.
Mustafilah di sini merupakan tatacara, sopan santun, atau thuma’inah dalam membaca Ummul Kitab, Surat Al Fatihah. Bagaimana pun, Al Quran adalah Kalam Allah yang ketika membacanya berarti sedang bercakap cakap dan berhadapan langsung kepada Allah Swt. Dengan membaca Surat Al Fatihah tersebut, Hadratussyekh memberikan tekanan tekanan intonasi dan aksentuasi yang standar dan penuh khidmat. “Memang, Hadratussyekh mengikuti bacaan riwayat Imam Hafs dari Imam ‘Ashim dengan intonasi dan aksentuasi yang standar,” ujar K.H. Abdullah Afif, M.A., seraya mempraktikkan bacaan yang diterimanya dari Hadratussyekh secara langsung (musyafahah) dan diikuti oleh peserta training. “Bacaan seperti ini sudah saya tanya langsung (verifikasi, red.) ke beberapa alumni senior seperti Pak Toni (K.H. Fatoni Dimyati Mojogeneng),” lanjutnya, memastikan.
Belajar yang Tidak Sebentar
Akhir akhir ini, sering muncul promosi dan ajakan cara cepat menghafal Al Quran. Padahal, proses belajar dan menghafal Al Quran memerlukan beberapa tahapan proses yang tidak instan sehingga menghasilkan qari dan huffadz yang mumpuni, mulai dari pelafalan huruf perhuruf, memulai dan memberhentikan bacaan pada kalimat yang tepat (waqf wal ibtida), pengaturan lama waktu murajaah, proses menjaga hafalan (individu dan kelompok), serta kegiatan pascamenghafal. Dalam beberapa riwayat disebutkan: parasahabat Rasulullah Saw senantiasa melakukan murajaah di antara mereka. Artinya, mereka saling menyimak dan saling mengooreksi bacaan Al Quran mereka secara berkala, terutama di bulan suci Ramadhan. “Jadi, Rama Kiai tidak suka tergesa gesa di dalam membaca Al Quran.”
Demikian pula, dalam proses menghafal. Meskipun, yang diutamakan adalah hafalan namun bacaannya harus benar benar tepat. “Untuk menghafal Al Quran, proses awalnya harus lumayan lancar dulu “bin nadhar” (membaca dengan melihat mushaf, red.). Mengikuti metode pengajaran tahsin yang meliputi penekanan pada fashohah yang dipraktikkan oleh KHM Yusuf Masyhar, huruf perhuruf. Setiap huruf Hijaiyah dilafalkan dengan indah dengan penerapan ‘makharij al huruf’ sesuai yang diajarkan dari lisan Hadratussyekh. Setiap bacaan harus membiasakan tartil. Memperhatikan waqf dan ibtida. Bagi setiap santri di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an yang sudah mampu mengikuti standar cara baca (metode. red) ‘Al Murattalu’ ini baru diwisuda dan menjadi syarat untuk melanjutkan program berikutnya, tahfidz al Quran,” ungkap K.H. Abdullah Afif, M.A. yang masih sibuk mengajar di beberapa pondok pesantren dan Universitas Keislaman Hasyim Asy’ari (UNHASY) di lingkungan Tebuireng itu.
Tidak Meminta Sanad, Tanpa Diberi
Proses menghafal Al Quran di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an memang terbilang ketat di dalam memelihara fashohah dengan Metode Al Murattalu. Setiap santri harus mampu menguasai macam macam bacaan diantaranya tartil, tahqiq, tadwir, hadr, dan tadabbur. Perbedaan dari cara baca tersebut terletak pada kecepatan (speed) lisan di dalam melafalkan Al Quran. Pada tingkat tertinggi, tadabbur, setiap santri sudah mampu membaca Al Quran secara ekspresif sesuai dengan intonasi, warna suara, dan gaya masing masing. Dengan catatan, tidak menyalahi tajwid dan tahsin Al Quran.
Ketika sudah memasuki jenjang tahfidz, setiap santri diajarkan untuk membiasakan diri, mudawamah, dengan tetap memperhatikan dasar dasar Qiraah Muwahhadah, bacaan baku ala Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an. Maka, tidak heran, jika kemudian setiap santri Madrasatul Qur’an yang membaca Al Quran di muka masyarakat umum akan tampak kekhasannya dan mudah dikenali.
Pengalaman K.H. Abdullah Afif, M.A. selama mesantren di Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an tidak ada santri yang berani meminta sanad kepada Hadratussyekh hingga Hadratussyekh sendiri yang berkenan memberikan sanad. Hal ini bukan berarti tidak ada santri yang tidak merasa telah berhasil memenuhi standar bacaan dan hafalan, bahkan dalam hal setoran hafalan (talaqqi) parasantri tersebut sering berlomba lomba untuk mengajukan setoran kepada Hadratussyekh. Hanya saja, Hadratussyekh sendiri yang paling berhak untuk menentukan, apakah seorang santri sudah layak dan pantas untuk mendapatkan sanad darinya.