Terdapat beberapa keamiran yang berdiri sendiri dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri. Di satu sisi, mereka membangun perserikatan dengan mengangkat satu pemimpin “Amirul Umara” dengan masih berafiliasi kepada dinasti besar seperti Umayyah dan Abbasiyah. Sementara di sisi lain, mereka mendirikan satu persekutuan sendiri, lepas dari afiliasi dinasti-dinasti besar. Biasanya, keamiran didirikan berdasarkan garis keturunan suku-bangsa tertentu dan tidak sedikit mengangkat tokoh spiritual imamah-thariqah. Jadi, jangan heran bila terdapat sebuah thariqah yang dikaitkan dengan suku-bangsa tertentu seperti Al Alawiyah, Al Sammaniyah, Al Ghazaliyah, dan lain-lain. Kendati garis keturunan tersebut dinisbatkan kepada Rasulullah Saw melalui garis (zuriyah) Sayidina Hasan atau Sayidina Husein.
Dinasti Umayyah-Cordoba (711-1492 Masehi)
Armada laut Dinasti Umayyah semakin kuat di kawasan Laut Tengah yang menghubungkan antara bagian Utara Afrika, Asia Barat, dan Eropa bagian Selatan.
Suku-bangsa Arab masuk ke Eropa pada 711 Masehi dipimpin oleh seorang sahabat Rasulullah Saw, Thariq bin Ziyad, meskipun pendekatan yang dilakukan adalah sangat disayangkan, melalui militeristik dan pertempuran. Sehingga menimbulkan peperangan terlama di dunia yang dikenal dengan sebutan “Reconquista” (perang melibatkan agama). Thariq bin Ziyad pada waktu itu diutus oleh Musa Bin Nushair, seorang Amir Afrika Utara. Dia membawa serta tujuh ribu pasukan menuju sebuah kawasan dekat gunung yang dikenal kemudian dengan nama Jabal Thariq (Gibraltar).
Dinasti Umayyah yang berkuasa di Cordoba pada mulanya menduduki Sevilla sebagai pusat kenegaraan. Namun, kemudian berpindah ke Cordoba. Untuk selanjutnya ditulis Dinasti Cordoba setelah Dinasti Umayyah di Damaskus dianggap selesai setelah berdirinya Dinasti Abbasiyah yang semakin kuat. Sehingga dalam waktu yang hampir bersamaan terdapat tiga pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan pada zamannya: Baitul Hikmah di Baghdad, Universitas Al Azhar di Kairo, serta Universitas Cordoba di Cordoba.
Meskipun parasejarawan masih mencari-cari sebab kekalahan umat Islam dengan berbagai sebab seperti “panaklukan” dan “peperangan”, namun tetap tercatat: umat Islam membawa budaya baru bagi kemajuan Eropa hingga kini diantaranya adalah Perguruan Baitul Hikmah, Kutubul Hannah untuk menampung terjemahan-terjemahan ilmu pengetahuan, serta rumah sakit, laboratorium, serta kemajuan dunia kedokteran secara umum.
Dinasti Umayyah-Cordoba memang telah menitikkan tinta emas bagi kemajuan peradaban manusia secara global, tidak saja bagi kaum muslimin. Meskipun setelah perang Reconquista berakhir ditandai dengan pengusiran umat Islam dari bumi Eropa.
Dinasti Al Hamdaniyah (929-1003 Masehi)
Dinasti ini didirikan oleh Hamdan (berkuasa 686-695 Masehi) bin Hamdun, Amir suku-bangsa Taghlib.
Suku-bangsa ini bermula dari Taghlib ibn Wa’il salah satu suku-bangsa Arab yang mendiami Najd (Arab Tengah ). Suku-bangsa Taghlib bermigrasi dan mendiami Jazira (Mesopotamia, Utara Irak dan Suriah) sejak akhir abad ke-6. Suku induk mereka adalah Rabi’ah.
Suku-bangsa Taghlib gemar berpindah tempat (nomaden). Mereka suku-bangsa paling kuat pada masa pra-Islam.
Suku-bangsa Taghlib memeluk agama Kristen Miafisit. Sebagian besar dari mereka tetap memeluk Kristen Ortodoks tersebut hingga pada pertengahan abad ke-7. Sebagian lagi mendapat hak istimewa pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Hamdan bin Hamdun memiliki dua orang putra yang berpengaruh pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Husein bin Hamdan adalah panglima perang Dinasti Abbasiyah, sementara Abu Al Haija Abdullah diangkat sebagai Amir Mosul oleh Khalifah Al Muktafi pada 905 Masehi.
Pada masa kejayaan Dinasti Al Hamdaniyah ini lahir tokoh-tokoh besar di bidang bahasa dan susastra seperti Abi Al Fath dan Usman bin Jinny di bidang ilmu Nahwu. Selain itu, terdapat nama-nama besar lainnya, seperti Abu Thayyib Al Mutannabi, Abu Firas Husein bin Nashr Al Daulah, Abu A’la Al Ma’ari, dan Syaif Al Daulah.