Luasnya cakupan pengertian pesantren sebagai “subkultur” (meminjam istilah Gus Dur) sedikit banyak telah mengaburkan definisi yang sekarang ada sebagai tempat “ngaji” an sich. Apalagi sejak masa kolonial yang giat mendirikan sekolah sekolah sekuler telah memposisikan pesantren secara diametral. Sebuah lembaga “pemberontak”. Sehingga dari masa ke masa hingga sekarang, pesantren masih mendapat gelar sebagai “lembaga tradisional”, untuk penyebutan euphimisme “lembaga terbelakang”. Apalagi sejak dikotomi ilmu, agama dan umum, berjarak secara diametral telah menjadikan sosok kiai misalnya tidak boleh berpolitik, berdagang, atau melakukan kegiatan kegiatan bernuansa “duniawi” (dalam tanda petik). Seorang kiai idealnya menurut pandangan ini cukup banyak banyak “tirakat” (dalam tanda petik), mengisi khotbah, menerima santunan, dan seterusnya.
Dari peristilahan Gus Dur tersebut, pesantren sebenarnya tidak seperti yang menjadi pedoman seperti saat ini. Ketika pesantren masuk ke dalam struktur negara yang diperkuat adanya Undang Undang Pesantren. Undang Undang yang menggariskan sebuah pesantren harus tunduk pada aturan aturan administrasi negara. Dengan kata lain, pesantren bukan lagi sebuah subkultur, melainkan sebuah lembaga pendidikan yang setara dengan lembaga lembaga pendidikan formal lainnya. Tentu, ada untung ruginya dengan lahirnya Undang Undang tersebut. Untungnya, negara hadir turut membenahi kemajuan kemajuan pesantren. Ruginya, pesantren menjadi seragam dan tidak lagi independen di dalam berbudaya. Padahal, tradisi dan budaya pesantren memiliki akar sejarah yang kuat sebelum Islam menjadi agama mayoritas di Nusantara. Sebagaimana sima, tanah perdikan, surau, meunasah, dan pesantren. Wilayah otonomi yang diberi keleluasan oleh negara (kerajaan) sebagai penghormatan.
Namun sayangnya, pesantren setelah diberi definisi oleh Martin Van Bruinessen yang kini dipakai oleh Kementerian Agama hanya membatasi pada aspek aspek mesjid, kiai, santri, kitab kuning, dan asrama saja. Padahal, pada aspek budaya, pesantren memiliki relasi yang luas terhadap masyarakat misalnya tradisi pencak silat dan thariqah yang saling berkelindan. Dengan kata lain, pencak silat tidak bisa dilepaskan dari induknya thariqah, sementara thariqah tidak bisa dilepaskan dari tradisi kiai dan pesantren. Sayangnya lagi, thariqah hanya dimaknai secara sempit sebagai “majelis zikir”. Padahal, implikasi budayanya juga luas, mencakup pengertian mengaji, mengkaji, interaksi sosial, hingga tatanan budaya.