Seminggu berlalu, acara Halal bi Halal dan Temu Alumni Nasional Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng yang diselenggarakan pada Ahad, 5 Mei 2024, kemarin begitu membekas hingga hari ini.
Seperti tahun tahun sebelumnya, sesi acara yang paling ditunggu-tunggu adalah tausiah yang disampaikan oleh KHA Musta’in Syafi’ie.
Pada acara kemarin, tausiah Beliau dibalut dengan penyampaian manaqib K.H. Muhammad Yusuf Masyhar. Meskipun singkat, manaqib tersebut terasa asyik disimak karena disampaikan dengan retorika yang khas.
Alkisah, Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari mempunyai cita cita memiliki lembaga Al Quran, tetapi belum mempunyai putera yang hafidh. Adapun salah satu ikhtiar Beliau adalah memondokkan KHM Yusuf Hasyim menghafal Al Quran di Sedayu, Gresik, tetapi karena situasi politik, belum juga berhasil.
Sejak tahun 1923 hingga sekarang, pelaksanaan sholat Tarawih pada bulan Ramadhan di Masjid Pesantren Tebuireng selalu mengkhatamkan Al Quran. Hadratussyekh cinta dan senang sekali dengan santri yang fasih dan hafal Al Quran. Mereka diberikan mandat khusus bergiliran menjadi imam tarawih pada bulan Ramadhan.
Suatu hari yang menjadi imam Tarawih adalah seorang santri yang tergolong masih muda bernama Yusuf bin Masyhar. Ketika Hadratussyekh mendengar bacaan dan setelah selesai sholat Tarawih, Beliau bertanya kepada pengurus pesantren, “Yang menjadi imam tadi itu siapa?” Pengurus pesantren kemudian mencari dan memberikan jawaban, “Yang menjadi imam adalah anak Kertosono.” Spontan Hadratussyekh menyangkal, “Tidak mungkin.” Karena, Beliau tahu pada masa itu ulama Al Quran masih tersebar di daerah pesisir, bukan di daerah tengah. Beliau kemudian menyuruh lagi kepada pengurus pesantren untuk mencari dengan benar, hingga akhirnya ketemu bahwa santri tersebut bernama Yusuf berasal dari Desa Jenu, Tuban.
Setelah tahu identitas santri yang menjadi imam Tarawih, Hadratussyekh kemudian memanggilnya dan diajak ke ndalem, sambil berkata kepada abdi dalem, “Mbok, Yusuf iki ingonono (makannya gratis di ndalem).” Sejak saat itu, Yusuf bin Masyhar menjadi santri kesayangan Hadratussyekh. “Mas Yusuf” adalah panggilan sayang dari Hadratussyekh kepada Yusuf bin Masyhar selanjutnya.
Tentunya, ada maksud Hadratussyekh memperlakukan Kiai Yusuf muda seperti itu. Kemudian, Hadratussyekh berkonsultasi kepada Ibu Nyai Masruroh, bahwa Yusuf ini mau dijadikan bagian dari Tebuireng, dan mau dinikahkan dengan puteri beliau. Namun, saat itu, puteri Hadratussyekh sudah menikah semua. Lalu, Ibu Nyai Masruroh menawarkan ada satu anak yaitu putri dari K.H. Baidlowi Asra, bernama Ruqoyyah.
Hadratussyekh kemudian menemui keluarga Kiai Yusuf di Desa Jenu, Tuban, untuk membahas mengenai pernikahan. Apa yang dilakukan oleh Hadratussyekh menunjukkan bahwa Kiai Yusuf merupakan santri yang istimewa. Bahkan, hingga yang menikahkan langsung adalah Hadratussyekh dengan memberikan arahan lafal qabul
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا لِنَفْسِيْ بِذَالِكَ الصَّدَاق
(pembahasan mengenai lafad qobul ini dijelaskan gamblang oleh KHA Musta’in Syafi’ei dan lebih enak jika ditulis secara terpisah).
Pada 1947, tepatnya di bulan Dzulhijjah, Hadratussyekh memotong qurban sapi. Di tengah penyembelihan sapi, Hadratussyekh memanggil Kiai Yusuf dan disuruh memegang golok untuk meneruskan sembelihan. Hal ini merupakan isyarat bahwa Kiai Yusuf dikehendaki untuk menjadi penerus perjuangan mewujudkan cita cita memiliki Lembaga Pendidikan Al Quran.
Setelah menikah dengan Ibu Nyai Ruqoyyah, sebagai seorang kepala rumah tangga, Kiai Yusuf muda bertanggung jawab akan keberlangsungan keluarga kecilnya untuk mencari nafkah. Dimulai dengan berpindah domisili ke Kota Jombang (7 KM dari Dusun Tebuireng), berbagai usaha dagang pun sudah dicoba, mulai dari jualan es lilin hingga dagang sapi ke Jakarta. Namun, sering menemukan kegagalan, bahkan hingga bangkrut. Di tengah kondisi seperti itu, muncullah teman karib Kiai Yusuf yakni Kiai Syansuri Badawi yang menasihati, “Mas Yusuf, Kiai Hasyim mengambil sampeyan mantu tidak untuk berdagang seperti ini, sampeyan dikongkon mulang.”
Kata kata itulah yang menyadarkan Beliau dan menjadi awal untuk bertekad mewujudkan cita cita Kiai Hasyim mendirikan pesantren Al Quran. Setelah melewati perenungan yang panjang dan musyawarah dengan 9 kiai besar sekitar Tebuireng, yang kesemuanya merupakan sahabat sahabat Beliau sekaligus santri Hadratussyekh, maka pada 1971 Madrasatul Quran Tebuireng pun berdiri.
Berkat ketekunan dan keuletan Kiai Yusuf, pesantren yang awalnya berada di satu kawasan dengan Pesantren Tebuireng, dengan menempati bangunan asrama belakang maqbarah Hadratussyekh kemudian pindah ke kediaman KHA Wachid Hasyim, dan terakhir pindah ke ndalem K.H. Baidlowi Asra, Madrasatul Quran Tebuireng berkembang pesat hingga saat ini dan masyhur sebagai salah satu pesantren Al Quran terbesar di Indonesia.
Banyak sekali cerita cerita teladan dari pribadi Kiai Yusuf Masyhar, salah satunya adalah Beliau jarang memakai atribut kekiaan, tidak berkenan dipanggil kiai, cukup dengan panggilan Pak Yusuf, bahkan untuk surat resmi pesantren beliau tidak berkenan ditulis dengan tambahan “K.H.” cukup H. Yusuf Masyhar. Ini yang sering dijadikan guyonan oleh santri santri generasi awal bahwa kita ndak pernah punya kiai, tidak seperti santri santri pesantren lain, yang pengasuhnya kiai.
Selain tausiah KHA Musta’in Syafi’ie dan ulasan Manaqib K.H. Muhammad Yusuf Masyhar yang sudah bisa kita lihat di channel Youtube Galeri MQ, kisah kisah perjalanan hidup Beliau serta sejarah Pesantren Madrasatul Qur’an dapat kita baca di buku yang berjudul KH. Muhammad Yusuf Masyhar Cahaya Al-Qur’an dari Jombang, sebuah buku biografi yang disusun oleh empat sahabat sahabat hebat saya yakni Mas Andri Kurniawan Aan Cogito, Kaji Syafi’i Budi Santoso Habib Al-Lahab, Gus Ali Ridho Aleey Soghol Alatas dan Kang Fajrul Ali Fikri Misbah Sebuah buku yang melengkapi kiprah perjalanan ulama-ulama Al Quran Indonesia.