Net26.id-Ngawi Usai masa Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009), masyarakat Indonesia seakan telah kehilangan tokoh peradaban. Masa ini telah melahirkan generasi dengan tingkat liberalisasi cukup tinggi. Liberalisasi tersebut nyaris lepas kontrol dengan indikasi meningkatnya kasus-kasus korupsi, tingginya cost politics untuk pembiayaan money politics, masyarakat hoax, dan matinya intelektual (post truth).
Keterwakilan Tokoh
Di sela kesibukannya mbalah kitab Al Tafsir Kabir aw Mafatih Al Ghaib karya Imam Fakhruddin Al Razi, Gus Kamid (KH Hamid Khoirul Hidayat, pengasuh Pondok Pesantren Miftachul Ulum, Pelang Lor, Kabupaten Ngawi) menyempatkan diri untuk mendedah empat tokoh peradaban yang melanjutkan peran-peran dan membersamai Gus Dur. Meskipun ada beberapa lagi yang bisa disebutkan, namun Gus Kamid masih membatasi diri pada empat tokoh tersebut.
Pertama, Buya Said. Buya Said atau KH Said Aqil Siroj (Ketua Umum PBNU periode 2010-2021) termasuk tokoh yang dinilai konsisten dalam merawat peradaban. Dikatakan konsisten, karena Buya Said mampu menjalin komunikasi dengan berbagai pihak secara produktif. Selama menjabat Ketua Umum PBNU, Buya Said termasuk aktif dalam mengimbangi wacana-wacana usang yang pernah marak pada masa sebelum dan awal kemerdekaan RI seperti kata sesat, kafir, kembali kepada Al Quran dan Sunnah, bid’ah, khilafah, dan Pancasila bersyariat. Wacana-wacana ini telah membawa umat Islam dan bangsa Indonesia pada stagnasi, tidak mampu beranjak dari bad mood peradaban. Tidak ada hal-hal baru.
Melalui pandangan geopolitik Islam Nusantara, Buya Said melakukan kerja-kerja inventarisasi budaya dengan membagi ke dalam empat makna: tsaqafah, tamaddun, hadlarah, dan adab. Empat makna budaya tersebut masuk ke dalam kerja-kerja Buya Said yang terprogram. Empat bidang kerja budaya ini yang berfungsi efektif dalam menghadang resistensi liberalisme dan konservatisme, terutama di bidang beragama. Melalui mekanisme welfare state, Buya Said menghimpun cadangan-cadangan ekonomi nondevisa dan peningkatan mutu SDM warga NU.
Kedua, Buya Syafii. Buya Syafii (Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, 1935-2022) adalah tokoh moderasi paling berpengaruh dari kalangan Muhammadiyah. Kedekatan Buya Syafii dengan Gus Dur dalam mengawal peradaban telah menarik keluar resistensi tradisi dan pembaharuan-pembaharuan berkelanjutan diantaranya dengan melakukan rekonstruksi sejarah Indonesia. Kerja-kerja budaya Buya Syafii tampak dalam membangun harmonisasi tradisi dan kemajuan yang diawali dari kerja-kerja sejarah. Dari sejarah ini, Buya Syafii cenderung membawa warga Muhammadiyah melepaskan belenggu-belenggu teks, meskipun tetap diperlukan sebagai bagian dari data penting. Kerja-kerja kesadaran melalui sejarah ini, Buya tidak sendirian. Masih ada tokoh-tokoh lain yang sezaman seperti Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Amin Abdullah, dan Prof. Dr. Munir Mulkhan.

Ketiga, Gus Sholah. Gus Sholah (KH Salahuddin Wahid, 1942-2020) memandang aspek penting dari aset-aset material budaya. Aset-aset tersebut adalah organisasi (NU), warisan dan ajaran, pesantren, serta warga NU. Bidang garapan pesantren sebagai basis budaya telah mengambil peranan penting sebagai lembaga pendidikan alternatif yang paling potensial. Pembaharuan Pesantren Tebuireng yang berkelanjutan telah menampilkan wajah pesantren sebagai aset budaya yang berharga. Karena, pesantren meliputi aspek-aspek penting dari kerja-kerja seni, ekonomi, intelektual, sejarah, bahkan politik.
Keempat, Buya Husein. Tokoh yang tidak suka berpolemik ini menjadi salah satu penjaga gawang terbaik bagi peradaban. Dengan penguasaan khazanah klasik dan tradisi intelektual umat Islam, Buya Husein (KH Husein Muhammad) dapat mengenali esensi sejarah dan budaya dengan baik. Peningkatan konsentrasi Buya Husein pada sejarah ini telah memaksa dirinya distempel liberal walaupun sejatinya adalah rasional dan merasionalisasikan khazanah masa lalu. Sebagai penjaga gawang, Buya Husein cukup arif dalam menerima tendangan-tendangan bola perubahan dan memberi respon atau umpan-umpan ke depan secara produktif.
Lingkar Gus Dur
Keempat tokoh yang disebutkan oleh Gus Kamid tersebut bisa dibilang termasuk dalam lingkar dan sistem Gus Dur. Tugas mereka adalah menjaga irama konflik dengan menghindari resistensi tekstual yang telah menjadi problem-problem budaya paling besar pada masa sebelum dan awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Problematika tekstualitas ini yang masih menjadi sindrom bagi kalangan Wahabi-Salafi-nyunnah. Problem pribadi dan kelompok mereka sendiri yang coba terus dikampanyekan melalui media-media sosial. Problem pribadi tersebut sudah usang dan tidak lagi laku dijual di zaman sekarang,” ungkap Gus Kamid. “Mereka seperti kaset rusak yang coba masuki ke dunia digital. Apa yang terjadi kalau bukan pembodohan umat?”