Ngawi-jatim.net26.id – Membahasakan “kirim bacaan Al Fatihah” sering menjadi kontroversial bagi yang salah paham. Mereka membangun asumsi masing masing karena tidak mengerti, mengapa harus mengirim bacaan Al Fatihah.
Bacaan Al Fatihah sebelum membaca zikir atau bacaan bacaan lain semisal Al Quran dan sholawat adalah kebiasaan ulama dan kiai. Bacaan yang dikenal dengan istilah tawasul ini sering diartikan kirim “hadiah” oleh ulama ulama terdahulu. Hal ini wajar, karena jika digambarkan Allah Taala itu memiliki kerajaan (مالك الملوك), maka sudah sepantasnya seorang hamba yang penuh dengan gelimang dosa memberi hadiah kepada junjungan dan sesembahanNya, Rasulullah saw dan Allah Taala.
Tapi, analogi ini tidak diterima oleh sebagian kalangan, karena menganggap Rasulullah saw itu samudera Syafaat yang akan memberikan limpahan ampunan kepada umatnya sebagai hak “previllage” yang diberikan Allah Taala kepadanya.
Maka, jika Al Quran saja yang menyebutkan Allah itu Raja (مالك), maka apa salahnya jika kita mempersembahkan sesuatu kepadaNya dan junjunganNya dengan membacakan surat Al Fatihah atau berqurban seperti pada Hari Raya Idul Adha.
Manusia adalah makhluk analog.
Terkadang, analogi analogi yang dimisalkan oleh ulama ulama zaman dahulu tidak bisa diterima oleh akal kekinian. Karena, zaman sekarang, sudah tidak ada lagi raja. Yang ada adalah individu individu yang memiliki akses sendiri sendiri. Mereka kadang menganggap bisa mengakses secara langsung kepada Allah Taala, tanpa harus melalui tower tower dan satelit. Belum lagi, titik koordinat untuk menangkap sinyal dengan baik dan cepat.
Manusia itu bisa diibaratkan seperti sebuah hape. Semakin dia canggih, semakin cepat akses dan semakin banyak aplikasi yang bisa dipakai. Nah, untuk menjadi manusia canggih dengan kecepatan akses dan banyaknya muatan aplikasi itu tidak mudah karena sebab hidayah (tutorial). Ada banyak orang yang mencari cari sinyal hingga jauh, tapi tidak juga menemukan akses yang cepat. Padahal, ada banyak akses yang bisa memberikan fasilitas fasilitas aplikasi asalkan mau mempelajari dengan hidayah. Jadi, hidayah itu tutorial yang bisa dipelajari, bukan datang dengan tiba tiba. Dapat dibayangkan cerita Sayidina Umar bin Al Khattab yang mencari cari hidayah melalui adiknya yang sedang membaca awal surat Thaha. Ada proses aktif untuk tahu dan mempelajarinya. Berbeda dengan orang orang berkemampuan khusus seperti Nabi Khidir as. Dia memang mendapat hidayah sesuai hak prerogatif Allah Taala kepadanya.
Membaca surat Al Fatihah, kemudian dikirimkan kepada Hadrat Rasul, ulama ulama, dan kepada ibu bapak jika dianalogikan dengan teknologi kekinian, maka tak ubahnya seseorang yang sedang menyambungkan perangkat sinyal miliknya kepada Sang Pemilik Sinyal, Allah Taala. Dan, tower terdekat kita adalah ibu. Seberapa besar perhatian kita selama ini kepada ibu kita sendiri? Kita sering ingin mengakses karena nafsu langsung kepada Allah. Mendownload langsung dari Allah, sementara tower yang terdekat sering diabaikan. Seberapa banyak kita membaca surat Al Fatihah untuk ibu kita, tower terdekat kita untuk sambung kepada Allah Taala? Maka, jangan heran kalau banyak gus gus yang nyeleneh suka bikin sulap seolah bisa mendownload langsung dari Allah. Wallahu a’lam.